Kamis, 20 September 2012


BAB  I
PENDAULUAN
Al-Quran sebagai sumber hukum Islam yang pokok banyak yang mengandung ayat-ayat yang bersifat mujmal, mutlak, dan ‘am. Oleh karenanya kehadiran hadis berfungsi untuk “tabyin wa taudhih” terhadap ayat-ayat tersebut. Ini menunjukkan hadis menduduki posisi yang sangat penting dalam literatur sumber hukum Islam.
Namun kesenjangan waktu antara sepeninggal Rasulullah SAW. dengan waktu pembukuan hadis (hampir 1 abad) merupakan kesempatan yang baik bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk memulai aksinya membuat dan mengatakan sesuatu yang kemudian dinisbatkan kepad Rasulullah SAW. dengan alasan yang dibuat-buat. Penisbatan sesuatu kepada Rasulullah SAW. seperti inilah yang selanjutnya dikenal dengan palsu atau Hadis Maudhu’.
Hadis Maudhu’ ini sebenarnya tidak layak untuk disebut sebagai sebuah hadis, karena ia sudah jelas bukan sebuah hadis yang bisa disandarkan pada Nabi SAW. Hadis maudhu’ ini berbeda dengan hadis dha’if. Hadis maudhu’ sudah ada kejelasan akan kepalsuannya sementara hadis dha’if belum jelas, hanya samar-samar. Tapi ada juga yang memasukkan pembahasan hadis maudhu’ ini ke dalam bahasan hadis dha’if.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadits Maudu’
Maudu’ berasal dari isim maf’ul dari    وضع يضع وضعاmenurut bahasa[1]., Al-Maudhu’ adalah isim maf’ul dari wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an, yang mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).
Kata al-maudhu’ secara kebahasaan memiliki beberapa konotasi makna yang berbeda-beda, tetapi mengarah pada satu pengertian yang sama. Beberapa konotasi makna itu di antaranya adalah sebagai berikut:
a.    Bermakna al-Hiththah, yang mempunyai arti menurunkan atau merendahkan derajat.
b.    Bermakna al-Isqah, yang mempunyai konotasi arti menggugurkan.
c.    Bermakna al-Ikhtilaq, yang berarti membuat-buat.
d.    Bermakna al-Islaq, yang berarti meletakkan
Beberapa contoh bentukan kata tersebut di atas menunjukkan bahwa kata al-maudhu’u mempunyai padanan dengan kata al-munhithu, al-musqithu, al-mukhtaliqu, dan al-mulshiqu. Sehingga kata al-maudhu’u bisa mempunyai pengertian menurunkan atau merendahkan derajat, menggugurkan, membuat-buat, dan meletakkan sesuatu yang bersifat tiruan pada sesuatu yang aslinya.

Sedangkan menurut istilah hadits maudu’ adalah hadits yang dibuat-buatatau diciptakan atau didustakan atas nama nabi.
Dan para ahli hadits mendifinisikan hadits maudu’ adalah:
هُوَ مَا نُسِبَ إِلَى رَسُوْلِ اللّه صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إخْتِلاَقًا وَ كِذْبًا مِمَّا لَمْ يَقُلْهُ  أَوْ يَفْعَلْهُ أَوْ يُقَرَّهُ
hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, memperbuat dan mengerjakan
هُوَ الْمُخْتَلَعُ الْمَصْنُوْعُ الْمَنْسُوْبُ اِلَى رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زوْرًا وَبُهْتَانًا سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ عَمْدًا اَوْ خَطَأً
“hadits yang diciptakan dan dibuat oleh seorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbahkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik disengaja maupun tidak”
Dari pengertian diatas tersebut dapat disimpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perbuatan, perkataan maupun taqrirnya, secara rekaan atau dusta semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat islam,hadits maudhu’ disebut juga dengan Hadits palsu.[2]

B.     Awal Munculnya Hadits Maudhu
Masuknya secara masal penganut agama lain kedalam islam, yang merupakan dari keberhasilan dakwah islamiyah keseluruh pelosok dunia, secara tidak langsung menjadi faktor munculnya hadits-hadits palsu. Kita tidak bisa menafikan bahwa masuknya mereka keislam,disamping ada yang benar-benar ikhlas, ada juga segolongan mereka yang mennganut agama islam hanya karena terpaksa tnduk pada kekuasaan islam pada waktu itu. Golomngan ini kita kenal dengan kaum Munafik.
Golongan tersebut senantiasa menyimpan dendam dan dengki terhadap islah dan senantiasa menunggu peluang yang tepat untuk merusak dan menimbulkan keraguan dalam hati-hati orang-orang islam. Maka datanglah waktu yang ditunggu-tunggu oleh mereka, yaitu pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Golongan inilah yang mulai menaburkan benih-benih fitnah yang pertama. salah seorang tokoh yang berperan dalam upaya menghancurkan Islam pada masa Utsman bin Affan adalah Abdullah bin Saba’, seorang yahudi  yang menyatakan telah memeluk islam.

Dengan bertopengkan pembelaan kepada saydina Ali dan Ahli Bait, ia menabur fitnah untuk fitnah kepada orang ramai. Ia menyatakan bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah dari pada Utsman, bahkan lebih berhak daripada Abu Bakar dan Umar. Halitu karena, menurut Abdullah bin Saba’, sesuai dengan wasiat dari Nabi Saw. Lalu, untuk mendukung propoganda tersebut, ia membuat suatu haditds maudhu’ yang artinya “ setiap Nabi ada penerima wasiatnya dan penerima mwasiatku dalahali”.
Namun penyebaran hadits Maudhu’ pada masa ini belum begitu meluas karena masih banyak sahabat utama yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan suatu kepalsuan suatu hadits. Setelah zaman shahabat berlalu, penelitian terhadap hadits-hadits Nabi SAW, mulai melemah. Ini menyebabkan bayaknya periwayatan dan penyebaran hadits secara tidak langsung telah menyebabkan terjadunya pendustaan terhadap Rasulullah dan sebagian shahabat. Ditambah lagi dengan adanya konflik politik antara umat Islam yang semakin hebat, telah membuka peluang kepada golongan tertentu yang memcoba bersengkongkol dengan penguasa untuk memalsukan hadits.
 Dilain sisi para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits. Berikut ini akan dikemukakan pendapat mereka yakni,;
1.      Menurut ahmad amin Bw Hdits maudu’ terjadi pada saat nabi masih hidup.alasannya yang dijadikan argumentai adalah hadits mutawatir “siapa dengan sengaja membuat berita bohong dengan mengataskan Nabi. Maka hendaklah orang itu bersiap-siap menempati tempat duduk di neraka. ( من كذب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النّار ) . Menurutnya hadits tersebut menggambarkan kemungkinan pada zaman Rasulullah Saw. telah terjadi pemalsuan hadits. Akan tetapi pendapat ini kurang disetujui oleh H.Mudatsir didalam bukunya Ilmu Hadits, dengan alasan Ahmad Amin tidak mempunyai alasan secara histories, selain itu pemalsuan hadits dijaman Rasulullah Saw. tidak tercantum didalam kitab-kitab standar yang berkaitan dengan Asbabul Wurud. Dan data menunjukan sepanjang masa Rasulullah Saw. tidak pernah ada seorang sahabatpun yang sengaja berbuat dusta kepadanya.
2.      Menurut jumhur muhadditsin, bahwa hadits telah mengalami pemalsuan sejak jaman khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebelum terjadi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, hadits masih bisa dikatakan selamat dari pemalsuan.
Faktor-faktor penyebab munculnya Hadits maudhu’
Terdapat beberapa faktor tentang penyebab hadits maudhu’ ini muncul, antara lain sebagai berikut:
1.      Pertentangan politik dalamm soal pemilihan khalifah
Kejadian ini timbul sesudah terbunuhnya  Khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak. Pada masa itu Umat Islam terpecah-belah menjadi beberapa golongan.  Diantara golongan-golongan tersebut, untuk mendukung golongannya masing-masing, mereka membuat hadits palsu, yang pertama yang paling banyak  membuat hadits Maudhu’ adalah golongan Syiah dan Rafidhah[3].
Diantara hadits-hadits yang dibuat golongan syiah adalah:
مَنْ اَرَادَ أَنْ يَنْظُرَ إلَى اَدَمَ فِى عِلْمِهِ وَإِلَى نُوْحٍ فِى تَقْوَاهُ وَإِلَى إِبْرَاهِيْمَ فِي عِلْمِهِ وَإِلَى مُوْسَى فِى هَيْبَتِهِ وَإِلَى عِيْسَى فِي عِبَادَتِهِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى عَلِيِّ
“ Barang siapa tyang ingin melihat Adam tentang ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh tentang ketakwaannya, ingin melihat Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat Musa tentang kehebatannya, ingin melihat isa tentang ibadahnya, hendaklah melihat Ali.
إِذَ رّأَيْتُمْ مُعَاوِيَهَ فَاقْتُلُوْهُ
Apabila kamu melihat Muawiyyah atas mimbarku, bunuhlah dia.
Gerakan-gerakan orang syiah tersebut diimbangi oleh golongan jumhur yang bodoh dan tidak tahu akibat dari pemalsuan hadits tersebut dengan membuat-buat hadits-hadits palsu. Contoh hadits palsu
مَا فِى الْجَنَّةِ شَجَرَةٌ إِلاَّ مَكْتُوْبٌ عَلَى كُلِّ وَرَقَةٍ مِنْهَا: لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّه مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللّه, أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ, عُمَرُ الْفَارُوْقُ, عُثْمَانُ ذُوْ النُّوْرَيْنِ.
 Tak ada satu pohon pun daklam syurga, melainkan tertulis pada tiap-tiap dahannya: la ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah, Abu bakar Ash-Shiddieq, Umar Al-faruq, dan Utsman Dzunnuraini.   
 Golongan yang fanatik kepada Muawiyyah membuat pula hadits palsu yang menertangkan keutamaan Muawiyyah, diantaranya:
اَلأُمَنَاءُ ثَلاَثَةٌ: أَنَا وَجِبْرِيْلُ وَ مُعَاوِيَةُ
Orang yang terpercaya itu ada tiga, yaitu Aku, Jibril Dan Muawwiyah.
2.      Adanya Kesengajaan dari pihak lain untuk merusak Ajaran Islam
Golongan ini adalah dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nasrani yang senantiasa menyimpan dendam terhadap agama  Islam. Mereka tidak mampu untuk melawan kekuatan Islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini. Mereka menciptakan sejumlah besar hadits Maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran Islam[4].Sejarah mencatatAbdullah Bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk Agama Islam. Oleh sebab itu, dia berani menciptakan hadits Maudhu’ pada saat masih banyak sahabat utama masih hidup[5]. Diantara hadits Maudhu’ yang diciptakan oleh orang-orang zindiq tersebut, adalah:
يَنْزِلُ رَبُّنَا عَشِيَّةً عَلَى جَمَلٍ اَوْرَقٍ, يُصَافِحُ الرُّكْبَانَ وَ يُعَانِقُ الْمُشَاةَ
Tuhan kami turunkan dari langit pada sore hari, di Arafah dengan bekendaraan Unta kelabu, sambil berjabatan tangan dengan orang-orang yang berkendaraan dan memeluk orang-orang yang sedang berjalan.
النَّظْرُ إِلَى الْوَجْهِ الْجَمِيْلِ عِبَادّةٌ
Melihat (memandang) muka yang indah adalah ibadah.
Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadits Maudhu’ dari kalangan Zindiq, adalah:
a)      Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar  4.000 hadits Maudhu tentang hukum halal-haram.
b)      Muhammad bin Sa’id Al-Mashubi, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Mansur
c)      Bayan bin Sam’an Al-Mahdi, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin Abdillah.

3.      Mempertahankan Mahzab dalam masalah Fiqh dan masalah Kalam
Mereka yang fanati terhadap Madzhab Abu Hanifah yang menganggaptidak sah shalat  mengagkut kedua tangan shalat, membuat hadits Maudhu’sebagai berikut.
مَنْ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي ال صّلاَةِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ
Barang siapa mengagkat kedua tangannya didalam shalat, tidak sah shalatnya.
4.      Membangkitkan gairah beribadah untuk Mendekatkan diri kepada Allah
Mereka membuat hadits-hadits palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan. Seperti hadits-hadits yang dibuat oleh Nuh ibn Maryam, seorang tokoh hadits maudhu,tentang keutamaan Al-Qur’an. Ketika ditanya alasannya melakukan hal seperti itu, ia menjawab: “ Saya dapati manusia telah berpaling dari membaca Al-Qur’an maka saya membuat hadits-hadits ini untuk menarik minat umat kembali kepada Al-qur’an.[6]
5.      Menjilat Para Penguasa untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah.
Seperti kisah Ghiyats bin Ibrahim An-Nakha’i yang datang kepada Amirul mukminin Al-Mahdi, yang sedang bermain merpati. Lalu iya mentyebut hadits dengan sanadnya secara berturut-turut sampai kepada nabi Saw., bahwasanya beliau bersabda:
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِيْ نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ
Tidak ada perlombaan, kecuali dalam anak panah, ketangkasan, menunggang kuda, atau burung yang bersayap.
Ia menambahkan kata, ‘atau burung yang bersayap’, untuk meyenagkanAl-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh dinar. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata, “Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW.” Lalu memerintahkanuntuk menyembelih mengerti itu.[7]

D.   Ciri-ciri Hadits Maudhu’

1.      Ciri-ciri yang terdapat pada Sanad
a)      Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang rawi yang terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia.
b)      Pengakuan dari sipembuat sendiri, seperti pengakuan seorang guru tasawwuf, ketika ditanya oleh ibnu ismail tentang keutamaan ayat Al-Qur’an, maka dijawab: “tidak seorang pun yang meriwayatkan hadits ini kepadaku. Akan tetapi, kami melihat manusia membenci Al-qur’an, kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Qur’an.”[8]
c)      Kenyataan sejarah, mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada pengakuan seorang rawi bahwa ia menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia lahir sesudah guru tersebut meninggal, misalnya ketika Ma’mun ibn Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia menerima Hadits dari Hisyam ibn Amr kepada Ibnu Hibban maka Ibnu Hibban bertanya, “kapan engkau pergi keSyam?” Ma’mun menjawab, “ pada tahun 250 H.” Mendengar itu Ibnu Hibban berkata, Hisyam meninggal dunia pada tahun 245 H.”
d)     Keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadits maudhu’. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Giyats bin Ibrahim, kala ia berkunjung kerumah Al- Mahdi yang sedang bermain dengan burung merpati yang berkata:
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ
“Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah, mengadu unta, mengadu kuda, atau mengadu burung
Ia menambahkan kata, “au janahin” (atau mengadu burung), untuk menyenagkan Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata: “ aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta, atas Nama Rasulullah SAW, lalu ia memerintahkan tentang kemaudhu’an suatu Hadits.
2.      Ciri-ciri yang terdapat pada Matan
a)      Keburukan susunan lafadznya. Ciri ini akan diketahui setelah kita mendalami ilmu bayan. Dengan mendalami ilmu bayan ini, kita akan merasakan susunan kata, mana yang keluar dari mulut Rasulullah SAW, dan mana yang tidak mungkin keluar dari mulut Rasulullah SAW.
b)      Kerusakan maknanya.
1)      Karena berlawanan dengan akal sehat, seperti Hadits:
اَنَّ سَفِيْنَةَ نَوْحٍ بِا لْبَيْتِ سَبْتِ سَبْعًا وَصَلَّتْ بِالْمَقَامِ رَكْعَتَيْنِ
Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf tujuh kali keliling ka’bah dan bersembahyang dimaqam Ibrahim dua raka’at.

2)      Karena berlawanan dengan hukum akhlak yang umum, atau menyalahi kenyataan, seperti Hadits:

لاَيُوْلَدُ بَعْدَ الْمِائَةِ مَوْلُوْدٌ لِلّهِ فِيْهِ حَاجَةٌ
Tiada dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus, yang ada padanya keperluan bagi Allah.

3)      Karena bertentangan dengan ilmu kedokteran, seperti hadits:
اَلْبَاذِنْجَانُ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
Buah terong itu penawar bagi penyakit.

4)      Karena menyalahi undang-undang (ketentuan-ketentuan) yang ditetapkan akal kepada Allah.  Akal menetapkan bahwa Allah suci dari serupa dengan makhluqnya. Oleh karena itu, kita menghukumi palsu hadits berikut ini:
إِنَّ الَّلهَ خَلَقَ الْفَرَسَ فَأَجْرَاهَا فَعَرِقَتْ فَخَلَقَ نَفْسَهَا مِنْهَا
Sesungguhnya Allah menjadikan kuda betina, lalu ia memacukannya, maka berpeluhlah kuda itu, lalu tuhan menjadikan dirinya dari kuda itu.

5)      Karena menyalahi hukum-hukum Allah dalam menciptakan alam, seperti hadits yang menerangkan bahwa ‘Auj ibnu Unuq mempunyai panjang tigab ratus hasta. Ketika Nuh menakutinya dengan air bah, ia berkata: “ketika topan terjadi, air hanya sampai ketumitnya saja. Kalu mau makan, ia memasukan tangannya kedalam laut, lalu  membakar ikan yang diambilnya kepanas matahari yang tidak seberapa jauh dari ujung tangannya.

6)      Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali, seperti hadits:
اَلدِّيْكُ الْأَبْيَضُ حّبِيْبِيْ وحَبِيْبُ حَبِيْبِيْ
Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku jibril.

7)      Bertentangan dengan keterangan Al-Qur’an, Hadits mutawatir, dan kaidah-kaidah kulliyah. Seperti Hadits:
وَلَدُ الزِّنَا لاَيَدْ خُلُ الجَنَّةَ إِلَى سّبْعَةِ أبْنَاءٍ
Anak zina itu tidak dpat masuk syurga sampai tujuh turunan.

Makna hadits diatas bertentangan dengan kandungan Q. S. Al-An’am : 164, yaitu:
وَلاَتَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَأُخْرَى
Dan seorang yang berdosa tidak akanmemikul dosa orang lain.
Ayat diatas menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orng lain. Seorang anak sekali pun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.

8)       Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap perbuatan yang kecil. Contohnya:
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَسَمَّاهُ مُحَمَّدًا، كَانَ هُوَ وَمَوْلُوْدُهُ فِى الْجَنَّةِ
Barangsiapa mengucapkan tahlil (la ilaha illallh) maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap lisan yang mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya.

E. Usaha Peyelamatan Hadits Dari Pemalsuan.
Dalam upaya menanggulangi Mauwdhu agar tidak berkembang dan semakin meluas, serta agar terpelihara Hadits-Hadits Nabi tercampur degan yang bukan Hadits. Langkah-langkah Kongkrit yang mereka Lakukan adalah :

1.      Memilihara Sanad Hadits.
Ketelitian dan sikap ketat terhadp sanad Hadits telah dilakukan oleh ummat islam sejak masa para shahabat dan Tabi’in. Para sahabat dan Tabi’in apabila mereka menerima Hadits, selalu menanyakan tentang Sanad suatu dari orang yang meriwayatkan Hadits, dan sebaliknya mereka juga akan menerangkan sanad Hadits yang mereka sampaikan.
2.      Menigkatkan Kesungguhan Penelitian.
Para Masa sahabat dan Tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian dan pemeiksaan hadits yang mereka dengan atau yang mereka terima daru sesamanya. Jika hadits yang mereka terima itu meragukan atau datang bukan dari sahabat yang langsung terlibat dalam permasalahan Hadits, segera melakukan Rihlah( perjalanan) sekalipun dalam jarak yang jauh untuk mengecek kebenaranya kepada sahabat yang senior atau yang terlibat dalam kejadian hadits. Dan juga mereka saling mengingatkan serta melakukan mudzakarah bersama shabat lain agar tidak melupakan hadits dan mengetahui yang shahih dan tidak shahih.
3.      Mengisolir Para Pndusta Hadits.
memerangi para pendusta dan tukang cerita. Para ulama Hadits juga memerangi para pendusta Hadits dan juga para tukang cerita yang dikenal gemar memalsukan Hadits dengan cara menjelaskan dan mewanti-wanti mereka agar jangan mendekati dan mendengarkan mereka. Ulama Hadits juga menerangkan Hadits-Hadits maudhu’ tersebut kepada para murid-muridnya dan mengingatkan mereka untuk tidak meriwayatkan Hadits-Hadits palsu tersebut. Diantara para ulama yang dikenal sangat “keras” terhadap pemalsu Hadits adalah Imam Syu’bah bin Al-Hajjaj (W. 160 H), Amir al-Sya’bi (W. 103. H), Sufyan al-Tsauri (W. 161 H), Abdurrahman bin Mahdi (W.198.H)[9]
4.      Menjelaskan “Status” Perawi Hadits. Terkadang perawi Hadits harus menjelaskan mengenai keadaan perawi Hadits yang diriwayatkannya. Sejarah hidupnya, guru-gurunya, murid-muridnya, perjalanannya dalam menuntut Hadits dan lain sebagainya. Sehingga dari sini setiap perawi Hadits dapat diketahui “statusnya”, apakah ia yang diterima sebagai perawi ini  akhirnya memunculkan ilmu baru dalam Hadits, yaitu ilmu jarh wa ta’dil dan ilmu ruwatul Hadits. Dari ilmu ini seseorang yang belajar Hadits akan dapat menjumpai mana Hadits yang shahih, hasan atau dhaif pun dapat diklasifikasikan apakah karena keterputusan sanad atau karena sebab lainnya. Sehingga Hadits tetap terjaga hingga sekarang ini.[10]
5.      Membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui hadits palsu. Untuk memberantas Hadits-Hadits palsu, para ulama membuat ketentuntuan mengenai tanda-tanda (ciri-ciri) Hadits Maudhu’. Baik ciri-ciri yang terdapat pada sanad maupun pada matannya
BAB III
KESIMPULAN
Dengan demikian maka dapat kita simpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah hadits palsu yang disandarkan kepada Nabi dan kemunculannya sekitar tahun 40 H dan kwmunculannya itu disebabkan karena: Pertentangan politik, Usaha kaum zindik Fanatik terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa dan Pimpinan, Mempengaruhi kaum Awam dengan kisah dan nasihat, Perselisihan madzhab dan ilmu kalam, Membangkitkan gairah beribadat, tanpa mengerti apa yang dilakukan,
Adapun cara mengetahui cirri-ciri hadits maudhu’ kita dapat melihat pada sanad dan matannya, sedangkan penanggulangannya dapat dilakukan dengan cara: Meneliti system penyandaran hadits, Memilih perawi-perawi hadits yang terpercaya, Studi kritik rawi, yang tampaknya lebih dikonsentrasikan pada sifat kejujuran atau kebohongannya, Menyusun kaidah-kaidah umum untuk meneliti hadits-hadits tersebut, dengan penjelasan di atas setidaknya kita dapat mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan ke maudhu’an sebuah hadits, dan itu akan membuat kita lebih hati-hati dalam mengambil hadits untuk kita jadikan sebagai pegangan hidup.



DAFTAR PUSTAKA
Khadijah dkk, Ulumul Hadits, Perdana Publishing, Medan, 2011

Nawir  Yuslem, Ulumul Hadits, Mitra Sumber Widya, Jakarta, 2000
Dr. Mohamad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam Dalam Kemunculan Hadits Maudhu’, Bandung, Pustaka Setia, 2001
M. Hasbi Ash-Shiddiqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Drs. Munzier suprapto. M. A, dan Drs. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, raja grapindo persada, Jakarta, 1993,


[1] Drs. Munzier suprapto. M. A, dan Drs. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, raja grapindo persada, Jakarta, 1993, h, 191

[2] Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag, dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 182.
[3] M. Hasbi Ash-Shiddiqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, jakarta: Bulan Bintang, 1987. Hlm 214
[4] Ash-Shiddiqy. Op. Cit.hlm. 254.

[5] Dr. Mohamad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam Dalam Kemunculan Hadits Maudhu’, Bandung, Pustaka Setia, 2001, hal. 49.
[6] Ash-Shiddiqy. Op. Cit.hlm. 254.

[7] Ash-Shiddieqy. Ibid.. Hlm 237
[8] Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag Op Cit. Hlm. 182
[9] Khadijah dkk, Ulumul Hadits, Perdana Publishing, Medan, 2011, Hlm.105
[10] Nawir  Yuslem, Ulumul Hadits, Mitra Sumber Widya, Jakarta, 2000, Hlm.322