BAB
I
PENDAULUAN
Al-Quran sebagai sumber hukum Islam yang pokok
banyak yang mengandung ayat-ayat yang bersifat mujmal, mutlak, dan ‘am.
Oleh karenanya kehadiran hadis berfungsi untuk “tabyin wa taudhih” terhadap
ayat-ayat tersebut. Ini menunjukkan hadis menduduki posisi yang sangat penting
dalam literatur sumber hukum Islam.
Namun kesenjangan waktu antara sepeninggal
Rasulullah SAW. dengan waktu pembukuan hadis (hampir 1 abad) merupakan
kesempatan yang baik bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk memulai
aksinya membuat dan mengatakan sesuatu yang kemudian dinisbatkan kepad
Rasulullah SAW. dengan alasan yang dibuat-buat. Penisbatan sesuatu kepada
Rasulullah SAW. seperti inilah yang selanjutnya dikenal dengan palsu atau Hadis
Maudhu’.
Hadis Maudhu’ ini sebenarnya tidak layak untuk
disebut sebagai sebuah hadis, karena ia sudah jelas bukan sebuah hadis yang
bisa disandarkan pada Nabi SAW. Hadis maudhu’ ini berbeda dengan hadis dha’if.
Hadis maudhu’ sudah ada kejelasan akan kepalsuannya sementara hadis dha’if
belum jelas, hanya samar-samar. Tapi ada juga yang memasukkan pembahasan hadis
maudhu’ ini ke dalam bahasan hadis dha’if.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadits Maudu’
Maudu’ berasal dari isim
maf’ul dari وضع
يضع وضعاmenurut bahasa[1]., Al-Maudhu’
adalah isim maf’ul dari wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an,
yang mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’
wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat); dan al-tarku
(ditinggal).
Kata al-maudhu’ secara
kebahasaan memiliki beberapa konotasi makna yang berbeda-beda, tetapi mengarah
pada satu pengertian yang sama. Beberapa konotasi makna itu di antaranya adalah
sebagai berikut:
a. Bermakna al-Hiththah, yang
mempunyai arti menurunkan atau merendahkan derajat.
b. Bermakna al-Isqah, yang
mempunyai konotasi arti menggugurkan.
c. Bermakna al-Ikhtilaq, yang
berarti membuat-buat.
d. Bermakna al-Islaq, yang
berarti meletakkan
Beberapa contoh bentukan kata tersebut di atas
menunjukkan bahwa kata al-maudhu’u mempunyai padanan dengan kata al-munhithu,
al-musqithu, al-mukhtaliqu, dan al-mulshiqu. Sehingga kata al-maudhu’u bisa
mempunyai pengertian menurunkan atau merendahkan derajat, menggugurkan,
membuat-buat, dan meletakkan sesuatu yang bersifat tiruan pada sesuatu yang
aslinya.
Sedangkan menurut istilah
hadits maudu’ adalah hadits yang dibuat-buatatau diciptakan atau didustakan
atas nama nabi.
Dan para ahli hadits
mendifinisikan hadits maudu’ adalah:
هُوَ مَا نُسِبَ
إِلَى رَسُوْلِ اللّه صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إخْتِلاَقًا وَ كِذْبًا
مِمَّا لَمْ يَقُلْهُ أَوْ يَفْعَلْهُ أَوْ يُقَرَّهُ
“hadits yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau
tidak mengatakan, memperbuat dan mengerjakan
هُوَ
الْمُخْتَلَعُ الْمَصْنُوْعُ الْمَنْسُوْبُ اِلَى رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زوْرًا وَبُهْتَانًا سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ عَمْدًا اَوْ خَطَأً
“hadits yang diciptakan
dan dibuat oleh seorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbahkan kepada
Rasulullah secara paksa dan dusta, baik disengaja maupun tidak”
Dari pengertian diatas
tersebut dapat disimpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perbuatan, perkataan maupun
taqrirnya, secara rekaan atau dusta semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat
islam,hadits maudhu’ disebut juga dengan Hadits palsu.[2]
B.
Awal Munculnya Hadits Maudhu
Masuknya secara masal
penganut agama lain kedalam islam, yang merupakan dari keberhasilan dakwah
islamiyah keseluruh pelosok dunia, secara tidak langsung menjadi faktor munculnya
hadits-hadits palsu. Kita tidak bisa menafikan bahwa masuknya mereka
keislam,disamping ada yang benar-benar ikhlas, ada juga segolongan mereka yang
mennganut agama islam hanya karena terpaksa tnduk pada kekuasaan islam pada
waktu itu. Golomngan ini kita kenal dengan kaum Munafik.
Golongan tersebut
senantiasa menyimpan dendam dan dengki terhadap islah dan senantiasa menunggu
peluang yang tepat untuk merusak dan menimbulkan keraguan dalam hati-hati
orang-orang islam. Maka datanglah waktu yang ditunggu-tunggu oleh mereka, yaitu
pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Golongan inilah yang mulai menaburkan
benih-benih fitnah yang pertama. salah seorang tokoh yang berperan dalam upaya
menghancurkan Islam pada masa Utsman bin Affan adalah Abdullah bin Saba’,
seorang yahudi yang menyatakan telah memeluk islam.
Dengan bertopengkan
pembelaan kepada saydina Ali dan Ahli Bait, ia menabur fitnah untuk fitnah
kepada orang ramai. Ia menyatakan bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah dari
pada Utsman, bahkan lebih berhak daripada Abu Bakar dan Umar. Halitu karena,
menurut Abdullah bin Saba’, sesuai dengan wasiat dari Nabi Saw. Lalu, untuk
mendukung propoganda tersebut, ia membuat suatu haditds maudhu’ yang artinya “
setiap Nabi ada penerima wasiatnya dan penerima mwasiatku dalahali”.
Namun penyebaran hadits
Maudhu’ pada masa ini belum begitu meluas karena masih banyak sahabat utama
yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan suatu kepalsuan suatu
hadits. Setelah zaman shahabat berlalu, penelitian terhadap hadits-hadits Nabi
SAW, mulai melemah. Ini menyebabkan bayaknya periwayatan dan penyebaran hadits
secara tidak langsung telah menyebabkan terjadunya pendustaan terhadap
Rasulullah dan sebagian shahabat. Ditambah lagi dengan adanya konflik politik
antara umat Islam yang semakin hebat, telah membuka peluang kepada golongan
tertentu yang memcoba bersengkongkol dengan penguasa untuk memalsukan hadits.
Dilain sisi para ulama
berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits. Berikut ini
akan dikemukakan pendapat mereka yakni,;
1.
Menurut ahmad
amin Bw Hdits maudu’ terjadi pada saat nabi masih hidup.alasannya yang
dijadikan argumentai adalah hadits mutawatir “siapa dengan sengaja membuat
berita bohong dengan mengataskan Nabi. Maka hendaklah orang itu bersiap-siap
menempati tempat duduk di neraka. ( من كذب عليّ
متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النّار
) . Menurutnya hadits tersebut menggambarkan kemungkinan pada zaman
Rasulullah Saw. telah terjadi pemalsuan hadits. Akan tetapi pendapat ini kurang
disetujui oleh H.Mudatsir didalam bukunya Ilmu Hadits, dengan alasan
Ahmad Amin tidak mempunyai alasan secara histories, selain itu pemalsuan hadits
dijaman Rasulullah Saw. tidak tercantum didalam kitab-kitab standar yang
berkaitan dengan Asbabul Wurud. Dan data menunjukan sepanjang masa Rasulullah
Saw. tidak pernah ada seorang sahabatpun yang sengaja berbuat dusta kepadanya.
2.
Menurut jumhur
muhadditsin, bahwa hadits telah mengalami pemalsuan sejak jaman khalifah Ali
bin Abi Thalib. Sebelum terjadi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dengan
Muawiyah bin Abu Sufyan, hadits masih bisa dikatakan selamat dari pemalsuan.
Faktor-faktor penyebab
munculnya Hadits maudhu’
Terdapat beberapa faktor
tentang penyebab hadits maudhu’ ini muncul, antara lain sebagai berikut:
1. Pertentangan politik dalamm soal
pemilihan khalifah
Kejadian ini timbul
sesudah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak. Pada
masa itu Umat Islam terpecah-belah menjadi beberapa golongan. Diantara
golongan-golongan tersebut, untuk mendukung golongannya masing-masing, mereka
membuat hadits palsu, yang pertama yang paling banyak membuat hadits
Maudhu’ adalah golongan Syiah dan Rafidhah[3].
Diantara hadits-hadits
yang dibuat golongan syiah adalah:
مَنْ اَرَادَ
أَنْ يَنْظُرَ إلَى اَدَمَ فِى عِلْمِهِ وَإِلَى نُوْحٍ فِى تَقْوَاهُ وَإِلَى
إِبْرَاهِيْمَ فِي عِلْمِهِ وَإِلَى مُوْسَى فِى هَيْبَتِهِ وَإِلَى عِيْسَى فِي
عِبَادَتِهِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى عَلِيِّ
“ Barang siapa tyang ingin
melihat Adam tentang ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh tentang
ketakwaannya, ingin melihat Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat
Musa tentang kehebatannya, ingin melihat isa tentang ibadahnya, hendaklah
melihat Ali.
إِذَ رّأَيْتُمْ مُعَاوِيَهَ فَاقْتُلُوْهُ
Apabila kamu melihat
Muawiyyah atas mimbarku, bunuhlah dia.
Gerakan-gerakan orang
syiah tersebut diimbangi oleh golongan jumhur yang bodoh dan tidak tahu akibat
dari pemalsuan hadits tersebut dengan membuat-buat hadits-hadits palsu. Contoh
hadits palsu
مَا فِى
الْجَنَّةِ شَجَرَةٌ إِلاَّ مَكْتُوْبٌ عَلَى كُلِّ وَرَقَةٍ مِنْهَا: لاَإِلَهَ
إِلاَّ اللَّه مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللّه, أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ, عُمَرُ
الْفَارُوْقُ, عُثْمَانُ ذُوْ النُّوْرَيْنِ.
Tak ada satu pohon
pun daklam syurga, melainkan tertulis pada tiap-tiap dahannya: la ilaha
illallah, Muhammadur Rasulullah, Abu bakar Ash-Shiddieq, Umar Al-faruq, dan
Utsman Dzunnuraini.
Golongan yang fanatik kepada Muawiyyah membuat
pula hadits palsu yang menertangkan keutamaan Muawiyyah, diantaranya:
اَلأُمَنَاءُ
ثَلاَثَةٌ: أَنَا وَجِبْرِيْلُ وَ مُعَاوِيَةُ
Orang yang terpercaya itu ada tiga, yaitu Aku, Jibril Dan Muawwiyah.
2. Adanya Kesengajaan dari pihak lain untuk
merusak Ajaran Islam
Golongan ini adalah dari
golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nasrani yang senantiasa menyimpan dendam
terhadap agama Islam. Mereka tidak mampu untuk melawan kekuatan Islam
secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini. Mereka menciptakan
sejumlah besar hadits Maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran Islam[4].Sejarah
mencatatAbdullah Bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk
Agama Islam. Oleh sebab itu, dia berani menciptakan hadits Maudhu’ pada saat
masih banyak sahabat utama masih hidup[5].
Diantara hadits Maudhu’ yang diciptakan oleh orang-orang zindiq tersebut,
adalah:
يَنْزِلُ رَبُّنَا عَشِيَّةً عَلَى جَمَلٍ
اَوْرَقٍ, يُصَافِحُ الرُّكْبَانَ وَ يُعَانِقُ الْمُشَاةَ
Tuhan kami turunkan dari langit pada sore
hari, di Arafah dengan bekendaraan Unta kelabu, sambil berjabatan tangan dengan
orang-orang yang berkendaraan dan memeluk orang-orang yang sedang berjalan.
النَّظْرُ إِلَى الْوَجْهِ الْجَمِيْلِ عِبَادّةٌ
Melihat (memandang) muka
yang indah adalah ibadah.
Tokoh-tokoh terkenal yang
membuat hadits Maudhu’ dari kalangan Zindiq, adalah:
a)
Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4.000 hadits Maudhu
tentang hukum halal-haram.
b)
Muhammad bin Sa’id Al-Mashubi, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Mansur
c)
Bayan bin Sam’an Al-Mahdi, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin Abdillah.
3. Mempertahankan Mahzab dalam masalah Fiqh
dan masalah Kalam
Mereka yang fanati
terhadap Madzhab Abu Hanifah yang menganggaptidak sah shalat mengagkut
kedua tangan shalat, membuat hadits Maudhu’sebagai berikut.
مَنْ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي ال صّلاَةِ فَلاَ
صَلاَةَ لَهُ
Barang siapa mengagkat
kedua tangannya didalam shalat, tidak sah shalatnya.
4. Membangkitkan gairah beribadah untuk
Mendekatkan diri kepada Allah
Mereka membuat
hadits-hadits palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah. Melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan. Seperti hadits-hadits
yang dibuat oleh Nuh ibn Maryam, seorang tokoh hadits maudhu,tentang keutamaan
Al-Qur’an. Ketika ditanya alasannya melakukan hal seperti itu, ia menjawab: “
Saya dapati manusia telah berpaling dari membaca Al-Qur’an maka saya membuat
hadits-hadits ini untuk menarik minat umat kembali kepada Al-qur’an.[6]
5. Menjilat Para Penguasa untuk Mencari
Kedudukan atau Hadiah.
Seperti kisah Ghiyats bin
Ibrahim An-Nakha’i yang datang kepada Amirul mukminin Al-Mahdi, yang sedang
bermain merpati. Lalu iya mentyebut hadits dengan sanadnya secara
berturut-turut sampai kepada nabi Saw., bahwasanya beliau bersabda:
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِيْ نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ
حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ
Tidak ada perlombaan,
kecuali dalam anak panah, ketangkasan, menunggang kuda, atau burung yang
bersayap.
Ia menambahkan kata, ‘atau
burung yang bersayap’, untuk meyenagkanAl-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya
sepuluh dinar. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata, “Aku bersaksi bahwa
tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW.” Lalu
memerintahkanuntuk menyembelih mengerti itu.[7]
D. Ciri-ciri Hadits Maudhu’
1. Ciri-ciri yang terdapat pada Sanad
a)
Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang rawi
yang terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia.
b)
Pengakuan dari sipembuat sendiri, seperti pengakuan seorang guru tasawwuf,
ketika ditanya oleh ibnu ismail tentang keutamaan ayat Al-Qur’an, maka dijawab:
“tidak seorang pun yang meriwayatkan hadits ini kepadaku. Akan tetapi, kami
melihat manusia membenci Al-qur’an, kami ciptakan untuk mereka hadits ini
(tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an), agar mereka menaruh perhatian untuk
mencintai Al-Qur’an.”[8]
c)
Kenyataan sejarah, mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada pengakuan seorang
rawi bahwa ia menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah
bertemu dengan guru tersebut, atau ia lahir sesudah guru tersebut meninggal,
misalnya ketika Ma’mun ibn Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia menerima Hadits
dari Hisyam ibn Amr kepada Ibnu Hibban maka Ibnu Hibban bertanya, “kapan engkau
pergi keSyam?” Ma’mun menjawab, “ pada tahun 250 H.” Mendengar itu Ibnu Hibban
berkata, Hisyam meninggal dunia pada tahun 245 H.”
d)
Keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadits maudhu’.
Misalnya seperti yang dilakukan oleh Giyats bin Ibrahim, kala ia berkunjung
kerumah Al- Mahdi yang sedang bermain dengan burung merpati yang berkata:
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ
حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ
“Tidak sah perlombaan itu,
selain mengadu anak panah, mengadu unta, mengadu kuda, atau mengadu burung
Ia menambahkan kata, “au
janahin” (atau mengadu burung), untuk menyenagkan Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi
memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata: “ aku
bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta, atas Nama Rasulullah SAW,
lalu ia memerintahkan tentang kemaudhu’an suatu Hadits.
2.
Ciri-ciri yang terdapat pada Matan
a)
Keburukan susunan lafadznya. Ciri ini akan diketahui setelah kita mendalami
ilmu bayan. Dengan mendalami ilmu bayan ini, kita akan merasakan susunan kata,
mana yang keluar dari mulut Rasulullah SAW, dan mana yang tidak mungkin keluar
dari mulut Rasulullah SAW.
b)
Kerusakan maknanya.
1) Karena berlawanan dengan akal sehat,
seperti Hadits:
اَنَّ
سَفِيْنَةَ نَوْحٍ بِا لْبَيْتِ سَبْتِ سَبْعًا وَصَلَّتْ بِالْمَقَامِ
رَكْعَتَيْنِ
Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf tujuh kali keliling ka’bah dan
bersembahyang dimaqam Ibrahim dua raka’at.
2) Karena berlawanan dengan hukum akhlak yang
umum, atau menyalahi kenyataan, seperti Hadits:
لاَيُوْلَدُ بَعْدَ الْمِائَةِ مَوْلُوْدٌ لِلّهِ
فِيْهِ حَاجَةٌ
Tiada dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus, yang ada padanya
keperluan bagi Allah.
3) Karena bertentangan dengan ilmu
kedokteran, seperti hadits:
اَلْبَاذِنْجَانُ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
Buah terong itu penawar bagi penyakit.
4) Karena menyalahi undang-undang (ketentuan-ketentuan)
yang ditetapkan akal kepada Allah. Akal menetapkan bahwa Allah suci dari
serupa dengan makhluqnya. Oleh karena itu, kita menghukumi palsu hadits berikut
ini:
إِنَّ الَّلهَ خَلَقَ الْفَرَسَ فَأَجْرَاهَا
فَعَرِقَتْ فَخَلَقَ نَفْسَهَا مِنْهَا
Sesungguhnya Allah menjadikan kuda betina, lalu ia memacukannya, maka
berpeluhlah kuda itu, lalu tuhan menjadikan dirinya dari kuda itu.
5) Karena menyalahi hukum-hukum Allah dalam
menciptakan alam, seperti hadits yang menerangkan bahwa ‘Auj ibnu Unuq
mempunyai panjang tigab ratus hasta. Ketika Nuh menakutinya dengan air bah, ia
berkata: “ketika topan terjadi, air hanya sampai ketumitnya saja. Kalu mau
makan, ia memasukan tangannya kedalam laut, lalu membakar ikan yang
diambilnya kepanas matahari yang tidak seberapa jauh dari ujung tangannya.
6) Karena mengandung dongeng-dongeng yang
tidak masuk akal sama sekali, seperti hadits:
اَلدِّيْكُ الْأَبْيَضُ حّبِيْبِيْ وحَبِيْبُ
حَبِيْبِيْ
Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku jibril.
7) Bertentangan dengan keterangan Al-Qur’an,
Hadits mutawatir, dan kaidah-kaidah kulliyah. Seperti Hadits:
وَلَدُ الزِّنَا لاَيَدْ خُلُ الجَنَّةَ إِلَى
سّبْعَةِ أبْنَاءٍ
Anak zina itu tidak dpat masuk syurga sampai tujuh turunan.
Makna hadits diatas bertentangan dengan kandungan Q. S. Al-An’am : 164,
yaitu:
وَلاَتَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَأُخْرَى
Dan seorang yang berdosa tidak akanmemikul dosa orang lain.
Ayat diatas menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada
orng lain. Seorang anak sekali pun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
8) Menerangkan suatu pahala yang sangat
besar terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat
besar terhadap perbuatan yang kecil. Contohnya:
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَسَمَّاهُ مُحَمَّدًا،
كَانَ هُوَ وَمَوْلُوْدُهُ فِى الْجَنَّةِ
Barangsiapa mengucapkan tahlil (la ilaha illallh) maka Allah menciptakan
dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap lisan
yang mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya.
E. Usaha Peyelamatan Hadits Dari Pemalsuan.
Dalam upaya menanggulangi Mauwdhu agar tidak berkembang dan semakin
meluas, serta agar terpelihara Hadits-Hadits Nabi tercampur degan yang bukan
Hadits. Langkah-langkah Kongkrit yang mereka Lakukan adalah :
1.
Memilihara
Sanad Hadits.
Ketelitian dan sikap ketat terhadp sanad Hadits telah dilakukan
oleh ummat islam sejak masa para shahabat dan Tabi’in. Para sahabat dan Tabi’in
apabila mereka menerima Hadits, selalu menanyakan tentang Sanad suatu dari
orang yang meriwayatkan Hadits, dan sebaliknya mereka juga akan menerangkan
sanad Hadits yang mereka sampaikan.
2.
Menigkatkan
Kesungguhan Penelitian.
Para Masa sahabat dan Tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian
dan pemeiksaan hadits yang mereka dengan atau yang mereka terima daru
sesamanya. Jika hadits yang mereka terima itu meragukan atau datang bukan dari
sahabat yang langsung terlibat dalam permasalahan Hadits, segera melakukan
Rihlah( perjalanan) sekalipun dalam jarak yang jauh untuk mengecek kebenaranya
kepada sahabat yang senior atau yang terlibat dalam kejadian hadits. Dan juga
mereka saling mengingatkan serta melakukan mudzakarah bersama shabat lain agar
tidak melupakan hadits dan mengetahui yang shahih dan tidak shahih.
3.
Mengisolir Para
Pndusta Hadits.
memerangi para pendusta dan tukang cerita. Para ulama
Hadits juga memerangi para pendusta Hadits dan juga para tukang cerita yang
dikenal gemar memalsukan Hadits dengan cara menjelaskan dan mewanti-wanti
mereka agar jangan mendekati dan mendengarkan mereka. Ulama Hadits juga
menerangkan Hadits-Hadits maudhu’ tersebut kepada para murid-muridnya dan
mengingatkan mereka untuk tidak meriwayatkan Hadits-Hadits palsu tersebut.
Diantara para ulama yang dikenal sangat “keras” terhadap pemalsu Hadits adalah
Imam Syu’bah bin Al-Hajjaj (W. 160 H), Amir al-Sya’bi (W. 103. H), Sufyan
al-Tsauri (W. 161 H), Abdurrahman bin Mahdi (W.198.H)[9]
4.
Menjelaskan
“Status” Perawi Hadits. Terkadang
perawi Hadits harus menjelaskan mengenai keadaan perawi Hadits yang diriwayatkannya.
Sejarah hidupnya, guru-gurunya, murid-muridnya, perjalanannya dalam menuntut
Hadits dan lain sebagainya. Sehingga dari sini setiap perawi Hadits dapat
diketahui “statusnya”, apakah ia yang diterima sebagai perawi ini akhirnya memunculkan ilmu baru dalam Hadits,
yaitu ilmu jarh wa ta’dil dan ilmu ruwatul Hadits. Dari ilmu ini seseorang yang
belajar Hadits akan dapat menjumpai mana Hadits yang shahih, hasan atau dhaif
pun dapat diklasifikasikan apakah karena keterputusan sanad atau karena sebab
lainnya. Sehingga Hadits tetap terjaga hingga sekarang ini.[10]
5.
Membuat
kaidah-kaidah untuk mengetahui hadits palsu. Untuk memberantas Hadits-Hadits palsu, para ulama membuat
ketentuntuan mengenai tanda-tanda (ciri-ciri) Hadits Maudhu’. Baik ciri-ciri
yang terdapat pada sanad maupun pada matannya
BAB III
KESIMPULAN
Dengan demikian maka dapat kita simpulkan bahwa
hadits maudhu’ adalah hadits palsu yang disandarkan kepada Nabi dan
kemunculannya sekitar tahun 40 H dan kwmunculannya itu disebabkan karena: Pertentangan
politik, Usaha kaum zindik Fanatik terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa dan
Pimpinan, Mempengaruhi kaum Awam dengan kisah dan nasihat, Perselisihan madzhab
dan ilmu kalam, Membangkitkan gairah beribadat, tanpa mengerti apa yang
dilakukan,
Adapun cara mengetahui cirri-ciri hadits maudhu’
kita dapat melihat pada sanad dan matannya, sedangkan penanggulangannya dapat
dilakukan dengan cara: Meneliti system penyandaran hadits, Memilih
perawi-perawi hadits yang terpercaya, Studi kritik rawi, yang tampaknya lebih
dikonsentrasikan pada sifat kejujuran atau kebohongannya, Menyusun
kaidah-kaidah umum untuk meneliti hadits-hadits tersebut, dengan penjelasan di
atas setidaknya kita dapat mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan ke
maudhu’an sebuah hadits, dan itu akan membuat kita lebih hati-hati dalam
mengambil hadits untuk kita jadikan sebagai pegangan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Khadijah
dkk, Ulumul Hadits, Perdana Publishing, Medan, 2011
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, Mitra Sumber
Widya, Jakarta, 2000
Dr.
Mohamad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam Dalam Kemunculan Hadits Maudhu’,
Bandung, Pustaka Setia, 2001
M. Hasbi Ash-Shiddiqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Drs. Munzier suprapto. M. A, dan Drs. Utang Ranuwijaya, Ilmu
Hadits, raja grapindo persada, Jakarta, 1993,
[1]
Drs. Munzier suprapto. M.
A, dan Drs. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, raja grapindo persada,
Jakarta, 1993, h, 191
[2] Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag, dan Agus Suyadi, Lc. M.
Ag, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 182.
[4]
Ash-Shiddiqy. Op. Cit.hlm.
254.
[5] Dr. Mohamad Najib, Pergolakan
Politik Umat Islam Dalam Kemunculan Hadits Maudhu’, Bandung, Pustaka Setia,
2001, hal. 49.
[6]
Ash-Shiddiqy. Op. Cit.hlm.
254.
[9] Khadijah dkk,
Ulumul Hadits, Perdana Publishing, Medan, 2011, Hlm.105
[10] Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, Mitra Sumber
Widya, Jakarta, 2000, Hlm.322