NASIRUDDIN AL-TUSI
(1201 – 1274 M)
(1201 – 1274 M)
1.
Biografi Nasiruddin Ath-Thusi
Nasiruddin
Ath-Thusi dikenal sebagai “ Ilmuan serba
bisa “ (Multi talented). Julukan (laqob) itu rasanya amat pantas disandangnya
karena sumbangannya bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tak
ternilai besarnya. Selama hidupnya, ilmuan Muslim dari Persia itu
mendedikasikan diri untuk mengembangkan berbagai ilmu, seperti astronomi,
biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hinga ilmu agama islam.
Serjan Muslim yang kemansyhurannya setara
dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja seperti Thomas Aquinas, memiliki
nama lengkap Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan Nasiruddin Ath-Thusi. Ia lahir pada tanggal
18 Februari tahun 1201 M / 597 H, di kota Thus yang terletak di dekat Mashed,
disebelah timur lautan Iran. Sebagai seorang Ilmuan yang amat kondang pada
zamannya, Nasiruddin memiliki banyak nama antara lain, Muhaqqiq, Ath-Thusi,
Khuwaja Thusi, dan Khuwaja Nasir.[1]
Nasiruddin lahir pada awal abad ke 13 M,
ketika itu dunia islam telah mengalami masa-masa sulit. Pada saat itu, kekuatan
militer Mongol yang begitu kuat menginvensi wilayah kekuasaan Islam yang amat
luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol
dengan sangat kejam. Hal itu dipertegas J.J.O’Connor dan E.F.Robertson, bahwa
pada masa itu, dunia diliputi kecemasan. Hilang rasa aman dan ketenangan itu
membuat banyak ilmuwan sulit untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya.
Nasiruddin pun tak dapat mengelak dari konflik yang melanda negerinya. Sejak
kecil, Nasiruddin digembleng ilmu oleh ayahnya yang beprofesi sebagai ahli
hukum di sekolah Imam Kedua Belas.
Selain digembleng ilmu agama di sekolah
itu, Ath-Thusi mempelajari Fiqih, Ushul, Hikmah dan Kalam, terutama Isyarat-nya
Ibnu Sina, dari Mahdar Fariduddin Damad,dan Matematika dari Muhammad Hasib, di
Nishapur. Dia kemudian pergi ke Baghdad di sana, dia mempelajari ilmu
pengobatan dan Filsafat dari Qutbuddin,dan juga Matematika dari Kamaluddin bin
Yunus dan Fiqih serta Ushul dari Salim bin Bardan.[2]
Pada tahun 1220 M, invasi militer Mongol
telah mencapai Thus dan kota kelahiran Nasiruddin pun dihancurkan. Ketika
situasi keamanan tak menentu, penguasa Islamiyah ‘Abdurahim mengajak sang
ilmuwan untuk bergabung. Tawaran itu tidak disia-siakannya, Nasiruddin pun
bergabung menjadi salah seorang pejabat istana Islamiyah. Selama mengabdi di
istana itu, Nasiruddin mengisi waktunya untuk menulis beragam karyanya yang
penting tentang logika, filsafat, matematika, serta astronomi. Karya pertamanya
adalah kitab Akhlaq-I Nasiri yang ditulisnya pada tahun 1232 M.
Pasukan Mangol yang dipimpin Hulagu Khan
– cucu Chinggis Khan pada tahun 1251 M akhirnya menguasai Istana Alamut dan
meluluhlantakkannya. Nyawa Nasiruddin selamat karena Hulagu ternyata sangat
menaruh minat terhadap ilmu pengetahuan. Hulagu yang dikenal bengis dan kejam,
tapi Nasiruddin diperlakukan dengan penuh hormat. Dia pun diangkat Hulagu
menjadi panesehat dibidang Ilmu Pengetahuan. Meskipun telah m,enjadi panesehat
pasukan Mangol, Nasiruddin tidak mampu menghentikan ulah dan kebiadapan
Hulagu Khan yang membumi hanguskan kota
metropolis intelektual dunia yaitu kota Baghdad, pada tahun 1258 M. terlebih
disaat itu, dinasti Abbasiyah berada dalam kekuasaan Khalifah Al-Musta’sim yang
lemah. Terbukti pada militer Abbasiyah tak mampu membendung gempuran pasukan
Mongol.[3]
Meskipun tak mampu mencegah terjadinya
serangan bangsa Mongol, paling tidak Nasiruddin bisa menyelamatkan diri dan
masih berkesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
“Hulagu sangat bangga sekali karena berhasil menakhlukkan Baghdad dan lebih
bangga lagi karena ilmuan terkemuka seperti Ath-Thusi bisa bergabung
bersamanya” paparan O’Connor dan Robertson dalam tulisan nya tentang Sejarah
Nasiruddin sebagaimana dalam tulisan Heri Ruslan.[4]
Hulagu sangat senang sekali ketika
Nasiruddin mengungkapkan rencananya untuk membangun Observatorium di Maragha.
Saat itu, Hulagu telah menjadikan wilayah Malagha yang berada wilayah
Azerbaijan sebagai ibu kota pemerintahannya. Pada tahun 1259 M. Nasiruddin pun
mulai membangun Observatorium yang megah. Jejak dan bekas bangunan
observatorium itu masih ada dan dapat kita jumpai sampai sekarang ini. Observatorium Maragha mulai beroperasi pada
tahun 1262 M. pembangunan dan operasional observatorium itu melibatkan serjana
dari Persia dibantu astronom dari Cina. Teknologi yang digunakan di
observatorium itu terbilang canggih pada zamannya. Beberapa peralatan dan
teknologi penguak luar angkasa yang digunakan di observatorium itu ternyata
merupakan penemuan dari Nasiruddin, yang salah satunya yaitu Kuadran Azimuth.
Selain itu juga, dia membangun perpustakaan di observatorium itu, koleksi
buku-bukunya terbilang lengkapyakni terdiri dari beragam Ilmu-ilmu pengetahuan.
Ditempat itu, Nasiruddin tak Cuma mengembangkan bidang astronomi saja. Dia pun
turut mengembangkan filsafat dan matematika
Di observatorium yang dipimpinnya itu,
Nasiruddin Ath-Thusi berhasil membuat table pergerakan planet yang akurat.
Kontribusi lainnya yang amat penting bagi perkembangan astronomi adalah kitab
Zij-Ilkhani yang ditulis dalam bahasa Persia dan lalu diterjemahkan kedalam
bahasa arab. Kitab itu disusun stelah 12 tahun memimpin observatorium Maragha.
Selain itu Nasiruddin juga berhasil menulis kitab terkemuka lainnya yang
berjudul At-Tadhkira fi’ilm Al-hay’a ( Memoar Astronomi ). Nasiruddin mampu
memodifikasi model semesta apisiklus Ptolomeus
dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda
langit. Nasiruddin meningal dunia pada tahun 672 H / 1274 M dikota Baghdad,
yang pada saat itu dibawah pemrintahan Abaqa ( Pengganti Hulagu ) yang masih
mendapat dukungan sampai akhir hayatnya.[5]
2. Integralitas Pemikiran
Abad 13 adalah masa kritis “kekhalifahan” Islam, sehingga sangat sedikit
pemikiran politik yang berkembang. Bahkan sulit menemukan pemikir politik yang
orisinal pada periode pasca-mongol tersebut. Akan tetapi kita mengenal
Nasiruddin Al Tusi, seorang pemikir cemerlang yang memainkan peran intelektual
dan pemikiran pemerintahan pada masanya. Beliau mempelajari filsafat Yunani dan
filsafat Islam seperti karya-karya Aristoteles, Al Farabi, Ibn Sina dan
sebagainya. Beliau juga dikenal ahli dalam bidang teologi dan fikih yang sangat
berpengaruh di Nisapur, sebuah kota yang menjadi pusat peradaban berpengaruh.
Beliau juga dikenal sebagai seorang astrolog handal serta menguasai
matematika. Walaupun keahliannya ini menjadikannya tidak bebas dan dipaksa
bekerja hampir dua puluh tahun sebagai astrolog di sebuah benteng Alamut
dibawah kekuasaan dinasti Nizari-Islamiliyah. Menurut Antony Black, At Thusi
tidak pernah menjadi pengikut Islamiliyah, kendati ide-ide Ismailiyah muncul
dalam karyanya, yang kelihatannya telah diedit sebagian dikemudian hari. Bisa
jadi at-Thusi juga menulis sebuah ringkasan tentang ajaran-ajaran Nizari
Islamiliyah yang berjudul ‘Rawdhah alTaslim’ atau Tashawurat.[6]
Dalam pemikiran agama, al-Tusi mengadopsi ajaran-ajaran neo-Platonik Ibn
Sina dan Suhrawardi, yang keduanya ia sebut, demi alasan-alasan taktis, “orang
bijak” (hukuma) bukan sebagai Filsuf. Akan tetapi, berbeda dari Ibn
Sina, ia berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan, akan tetapi
sebagaimana doktrin Syiah, manusia membutuhkan pengajaran yang otortatif,
sekaligus filsafat. Ini menunjukkan kecenderungan teologi mistisnya.
Dalam pemikiran politik, al Tusi cenderung menyintesiskan ide-ide
Arsatoteles dan tradisi Iran. Ia menggabungkan filsafat dengan genre
Nasehat kepada Raja, sehingga ia tetap memelihara hubungan antara Syiah dan
filsafat. Buku etika-nya disajikan sebagai sebuah karya filsafat praktis. Karya
ini membahas persoalan individu, keluarga, dan komunitas kota, provinsi, desa
atau kerajaan. Pembahasan bagian I menggunakan etika Miskawaih, bagian II
menggunakan ide Bryson dan Ibn Sina, dan bagian III menggunakan pemikiran Al
Farabi.[7]
Nasiruddin Al Tusi bermaksud menyatukan filsafat dan fikih berdasarkan
pemikiran bahwa perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat.
Fitrah memberikan manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai pengetahuan
batin dan kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk pada kebiasaan komunitas, atau
diajarkan oleh seorang nabi atau imam, yaitu hukum Tuhan, dan ini merupakan
pokok bahasan fikih. Keduanya dibagi lagi menjadi norma-norma untuk 1).
Individu, 2). Keluarga, dan 3). Penduduk desa atau kota. Menurutnya filsafat
mempunyai kebenaran-kebenaran yang tetap sedangkan fikih ataupun hukum Tuhan
mungkin berubah karena revolusi atau keadaan, perbedaan zaman dan bangsa serta
terjadinya peralihan dinasti. Beliau menafsirkan Negara atau dinasti seperti
dawlah menurut pandangan Ismailiyah, hal ini terlihat dari pandangannya
tentang perubahan pada hukum Tuhan oleh nabi-nabi, penasiran fuquha dan
juga para imam. Sehingga at-Tusi menganggap syariat sebagai suatu
tatanan hukum yang tidak mutlak dan final, sebagaimana diyakini kalangan Sunni.[8]
3. Karya-karya
Nasiruddin Ath-Thusi
Benar kalau dikatakan bahwa Ath-Thusi
adalah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang Ilmu, bukan hanya seorang
filsuf semata. Hal itu terlihat dari berbagai disiplin keilmuan yang ditulisnya
dalam bentuk buku atau kitab.
Meskipun Ath-Thusipandai dalam berbagai
cabang ilmu pengetahuan namun ia bukan seorang ilmuwan / filsuf yang kreatif
sebagaimana filsuf yang ada ditimur yang memuat sebelumnya. Ia bukan termaksuk
ahli fikir yang kreatif yang memberikan gagasan-gagasan murni yang cemerlang.
Hal ini tampak pada kedudukan ia sebagai pengajur gerakan kebangktan kembali
dan dalam karya-karyanya kebanyakan bersifat eklektis yakni bersifat memilih
dari berbagai sumber. Tetapi meskipun demikian, ia tetap memiliki cirri khas
tersendiri dalam menyajikan bahan tulisannya. Kepandaiannya yang beragam
sungguh mengagumkan. Minatnya yang banyak dan berjenis-jenis mencakup filsafat,
matematika, astronomi, fisika, ilmu pengobatan, mineralogy, music, sejarah ,
kesusastraan dan dogmatik.
Adapun
karya-karya Nasiruddin Ath-Thusi sebagi berikut[9].
1. Karya
dibidang logika diantaranya:
a. Asas
Al-Iqtibas
b. At-Tajrid
fi Al-Mantiq,
c. Syarh-I
Mantiq Al-Isyarat
d. Ta’dil
Al-MI\i’yar
2. Di
bidang metafisika meliputi :
a. Risalah
dar Ithbat-I Wajib,
b. Itsar-I
Jauhar Al-Mufariq,
c. Risalah
dar Wujud-I Jauhar-I Mujarrad,
d. Risalah
dar Itsbat-I ‘Aqi-I Fa’al,
e. Risalah
Darurat-I Marg,
f. Risalah
Sudur Kharat Az Wahdat,
g. Risalah
‘Ilal wa Ma’lulat Fushul,
h. Tashawwurat,
i.
Talkis Al-Muhassal dan
j.
Hall-I Musykilat Al-Asyraf.
3. Di
bidang etika meliputi :
a. Akhlak-I
Nashiri,
b. Ausaf
Al-Asyarf.
4. Sementara
di bidang dogmatik adalah :
a. Tajrid
Al’Aqa’id,
b. Qawa’id
Al-‘Aqa’id,
c. Risalah-I
I’tiqodat.
5. Di
samping itu, beberapa karyanya dalam bidang astronomi terangkum pada :
a. Al-Mutawassithat
Bain Al-Handasa wal Hai’a,: buku suntingan dari sejumlah karya Yunani,
Ikhananian Table ( penyempurnaan Planetary Tables )
b. Kitab
At-Tazkira fi al-Ilmal-hai’a; buku ini terdiri dari atas empat bab ( I )
pengantar geometrik dan sinematika dengan diskusi-diskusi tentang saat
berhenti, gerak-gerik sederhan, dan kompleks. ( II ) pengertian-pengertian
astronomikal secara umum, perubahan sekular pembiasan ekliptik. Sebagian bab
ini diterjemahkan oleh Carr De Vaux penuh dengan kritikyang tajam atas Almagest
karya Ptolemy. Kritikan ini merupakan pembuka jalan bagi Copernicus, terutama
pembiasan-pembiasan pada bulan dan gerakan dalam ruangan planet-planet.( III )
bumi dan pengaruh benda-benda angkasa atasnya, termaksuk di dalamnya tentang
laut, angin, pasang surut, serta bagaimana hal ini terjadi. ( IV ) besar dan
jarak antar planet.
c. Zubdat
Al-Hai’a 9 yang terbaik dari astronomi),
d. Al-Tahsil
fil An-Nujum,
e. Tahzir
Al-Majisti,
f. Mukhtasar
fial-ilm At-Tanjim wa Ma’rifat At-Taqwin ( ringkasan astrologi dan penanggalan),
g. Kitab
Al-Bari fi Ulum At-Taqwim wa Harakat Al-Afak wa Ahkam An-Nujum ( buku terunggul tentang Almanak,
gerak bintang-bintang dan astrologi kehakiman ).
6. Di
bidang arritmatika, geometri, dan trogonometri adalah :
a. Al-Mukhtasar
bi Jami Al-Hisab bi At-Takht wa At-Turab ( ikhtisar dari seluruh perhitungan
dengan tabel dan bumi ),
b. Al-Jabr
wa Al-Muqabala ( risalah tetang Al-Jabar )
c. Al-Ushul
Al-Maudua ( risalah mengenai Euclidas Postulate ),
d. Qawa’id
Al-Handasa ( kaidah-kaidah geometri ),
e. Tahrir
al-Ushul,
f. Kitab
Shakl Al-Qatta ( risalah tentang Trilateral ), sebuah karya dengan keaslian
luar biasa, yang ditulis sepanjang abad pertengahan. Buku tersebut sanagat
berpengaruh di Timur dan di Barat sehingga menjadi rujukan utama dalam
penelitian trigonometri.
7. Di
bidang optic, ia tuangkan keilmuannya tersebut dalam
a. Tahrir
Kitab Al-Manazir,
b. Mabahis
Finikas Ash-Shu’ar wa in Itaafiha ( penelitian tentang refleksi dan defleksi
sinar-sinar).
8. Di
bidang seni ( syair ) meskipuntidak sekeliber Omar Khayam atau pun Jalaluddin
Rumi, ia juga mampu menghasilkan karya yang diabadikan dalam buku yang berjudul
Kitab fi Ilm Al-Mau-Siqi dan Kanz At-Tuhaf.
9. Karya
di bidang medical adalah kitab Al-Bab Bahiyah fi At-Tarakib As-Sultaniyah; buku
ini bercerita tentang cara diet, peraturan-peraturan kesehatan dan hubungan
seksual.
Beberapa pikiran lainnya dapat
dikemukaakn di sini tentang kajian perbandingan dan pembagiannya. Thusi dengan
jelas menyatakan bahwa setiap perbandingan suatu besaran, apakah sepadan atau
tidak dapat dikatakan sebagai bilangan, suatu pernyataan Newton yang membantu
menegaskannya kembali dalam Universitas Arithemetic pada tahun 1707.
4. Filsafat
Nasiruddin Ath-Thusi
a. Sosial-Politik
Nasiruddin at-Tusi adalah seorang pemikir politik prolifik. Dengan keahliaannya
yang sangat komplit, at-Tusi mampu menyuguhkan sebuah pemikiran idealis tentang
politik. Hal ini dapat dilihat ketika Tusi, pertama-tama mengkaji tentang
kemanusiaan sebagai tahap awal munculnya politik dalam diri manusia, kemudian
Ia juga membahas bagaimana fitrah manusia sebenarnya. Kedua adalah tentang
masyarakat politik, beliau menjelaskan elemen-elemen masyarakat politik,
seperti adanya kerja sama dalam bidang ekonomi, elemen keadilan, dan bahkan
elemen cinta. Untuk itulah akan kita lihat pemikiran sosio-politiknya yang
khas. Kemudian setelah terbentuk masyarakat politik, Tusi juga menjelaskan
adanya kelompok masyarakat dengan status yang berbeda berdasarkan kemampuan dan
usaha mereka masing-masing. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Aristoteles.
Dan kesemuanya itu akan sangat jelas dan khas dalam pandangannya tentang Negara
aktual yang bercorak Nasihat kepada Raja atau pemimpin, yang mengisyaratkan
adanya sebuah “persatuan spiritual” dalam mencapai kesempurnaan dan
kebahagiaan.[10]
Di dalam menjelaskan adanya kerja sama dan organisasi sosial yang beliau
sebut sebagai masyarakat politik, sebuah masyarakat yang tercipta karena secara
fitrah manusia adalah makhluk sosial dan mempunyai kebebasan dalam berpikir.
Disnini Nasiruddin at-Tusi membaginya kedalam tiga elemen dasar terciptanya
masyarakat politik tersebut.
Elemen pertama adalah bidang ekonomi politik, khususnya
ketrampilan. Kebutuhan hidup manusia disediakan oleh ‘pengaturan teknik (tadbir
al-shna’i) seperti penanaman bibit, panen, membersihkan, menumbuk dan
memasak’. Menurutnya, untuk alasan ini Kebijaksanaan Tuhan meniscayakan
perbedaan hasrat dan pendapat manusia, sehingga setiap manusia menghasratkan
pekerjaan yang berbeda-beda, ada yang menginginkan pekerjaan mulia, ada yang
hina, dan kenyataanya kedua-duanya sama-sama merasa gembira dan puas.
Kemudian yang menarik disini ketika Tusi berpendapat bahwa
ketrampilan ini sangat bergantung pada uang. Menurutnya “uang” merupakan sebuah
“instrumen keadilan”. Uang adalah hukum yang lebih rendah, mediator yang adil
antara manusia dalam berhubungan ekonomi, bahkan dapat dikatakan juga
bahwa uang adalah merupakan “keadilan yang diam”. Selain uang, ketrampilan pun
bergantung pada oraganisasi sosial. Menurutnya, karena manusia harus bekerja
sama, maka spesies manusia pada hakikatnya membutuhkan perpaduan, yakni
terbentuknya kehidupan sipil atau tamaddun.[7] Karena itu manusia pada dasarnya
adalah penduduk kota atau warga Negara.
Selanjutnya yang dibutuhkan sebuah warga Negara adalah suatu manajemen
khusus, yaitu syiasah atau pemerintahan. Pemerintahan dibutuhkan karena
pertukaran moneter antar manusia kadang-kadang membutuhkan arbitase. Maka
menururtnya elemen kedua dalam masyarakat politik adalah “keadilan”. Dalam hal
ini at-Tusi sangat terpengaruh oleh Plato yang memandang keadilan sebagai inti
kebajikan, harmoni keberagamaan. Kemudian ia melanjutkan bahwa keadialan di
kalangan manusia tidak dapat dijalankan tanpa tiga hal; perintah Tuhan (numus-I
ilahi), seorang pemberi keputusan diantara manusia (hakim) dan uang.[11]
Elemen terakhir yang mungkin paling unik adalah penjelasannya tentang
asosiasi manusia dengan “cinta”, yang menurutnya memainkan peran lebih sentral
dari pada teori sosial Islam lainnya. “Cinta” melahirkan kehidupan yang beradap
(tamadun) dan persatuan sosial. Baginya cinta merupakan “penghubung
semua masyarakat”. Cinta mengalir dari fitrah manusia itu sendiri (Mungkin ini
dambil dari gagasan neo-Platonis). Menurutnya semakin kita tersucikan, semakin
kita menjadi subtansi-subtansi sederhana yang mengetahui bahwa “tidak ada
perbedaan antara memaknai atau mengabaikan sifat fisik” dan bahkan mencapai
“kesatuan batin” melalui cinta satu sama lain. Sebagai contoh, At-Tusi memandang
umat Islam terdiri atas asosiasi tunggal, sebagaimana pengertian Aristoteles.
Sikap saling membantu dan mencintai serta kerja sama membimbing manusia
untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini secara tidak langsung melahirkan
kemanuggalan semua orang pada Manusia Sempurna, sebagaimana diajarkan dalam
doktrin Syiah Ismailiyah. Disini dapat kita lihat sepertinya Al Tusi telah
berhasil mengintegrasikan pemikiran Aristoteles dan Syiah secara lebih
mendalam.
Secara lebih khusus, Al Tusi seperti pemikir muslim lainnya memandang
pemerintahan atau syiasah dalam kaitannya dengan perhatian pada karakter
dan hak-hak istimewa pemimpin, yang beliau sebut sebagai raja (Malik).
Beliau sangat rinci didalam menjelaskan adanya empat tipe pemerintah dari
pemikiran filsafat Aristoteles, yaitu; pemerintahan yang mementingkan keagungan
raja, kekuasaan, kemuliaan dan komunitas. Al Tusi hendak mengatakan bahwa
keempat aspek itu sama-sama terdapat dalam sebuah pemerintahan; raja adalah
sebuah “pemerintahan dari berbagai pemerintahan” yang berfungsi untuk
mengorganisasikan ketiga aspek lainnya.[12]
Disini at-Tusi tampaknya mengaitkan pandangannya dengan
pemerintahan yang bernuansa keagamaan. Pemerintahan umat berurusan dengan
peraturan-peraturan keagamaan dan dengan keputusan-keputusan intlektual.
Walaupun at-Tusi barangkali merujuk pada “pemerintahan oleh rakyat untuk
kebaikan bersama (politea), beliau tidak menfsirkannya dalam pengertian
pemerintahan oleh rakyat, sebagaimana demokrasi. Namun, menurutnya pemerintahan
seperti itu harus dipimpin oleh seorang istimewa yang ditunjuk oleh Tuhan dan
agar rakyat mengikutinya. Dimana menurut pandanganYunani kuno disebut sebagai
“pemilik Hukum” dan kaum Muslim menyebutnya dengan Syariat. Disini beliau
menjadi sedikit berbeda dengan Al Farabi, dan menganggap bahwa pemerintahan
“oleh rakyat” adalah bentuk pemerintahan yang baik. Dan mungkin kalau ditarik
lebih jauh lagi pada masa sekarang, konsep sederhana Tusi tentang
pemerintahannya ini sebagai awal perkembangan Syiah Imamiyah dan bahkan yang melahirkan
Republik Islam yang pertama di Iran oleh Imam Khomeini.
b. Terbentuknya
Kelompok-kelompok Politik
Sebagaimana Al Farabi yang mencoba mengklasifikaskan manusia berdasarkan
pembagian kerja dan kecenderungan individu dalam pemenuhan kebutuhannya, Nasiruddin
al Tusi juga membagi komunitas manusia kedalam ; 1) keluarga, 2) Kedaerahan, 3)
kota, 4) Komunitas besar, umam-I kabir, sebuah bangsa, dan 5) penduduk dunia.
Yang menjadi menarik disini adalah bagaimana menghubungkan komunitas-komunitas
tersebut? Al Tusi mengajukan sebuah pengajaran filsafat yang tercipta pada
konsep tentang kepemimpinan (rais). Walaupun setiap kelompok mempunyai
pemimpin masing-masing, kepala keluarga adalah bawahan dari kepala daerah, dan
seterusnya, dan semuanya merupakan bawahan dari pemimpin dunia, sang pemimpin
Mutlak bagi kehidupan politik manusia. Kelangsungan dan kesempurnaan setiap
individu sangat tergantung pada komunitas yang terakhir ini.
Komunitas universal ini kemudian bergantung pada ilmu politik (hikmat-i
al-madani) “kecakapan tertinggi” yang mengungguli seluruh kecakapan
lainnya, yang menjadi “kajian hukum universal/Qawanin, yang menghasilkan
manfaat terbaik bagi mayoritas, karena mereka diarahkan, melalui kerjasama,
menuju kesempurnaan sejati. Menurutnya pengetahuan tertinggi mengenai hikmah
merupakan fondasi keteraturan sosial.
Lebih rinci lagi, dan mungkin ini yang membedakannya dengan Al Farabi
tentang pembagian kelas sosial, nampak At-Tusi sangat kontekstual terutama pada
ranah hidupnya, yaitu khas Iran-Islam. Pengelompokan itu meliputi; 1). “ahli
pena” yaitu orang-orang yang pakar dalam ilmu pengetahuan, yang meliputi
fikih, dokter, penyair, ahli geometri, astronom, dan keberadaan dunia sangat
bergantung kepadanya. 2). “ahli pedang” yaitu para tentara dan prajurit. 3).
“ahli bisnis” termasuk diantaranya para pedagang, pekerja terampil, dll. Dan
4). Petani.
Disini kita melihat bahwa tujuan ilmu politik adalah menciptakan
keseimbangan diantara berbagai lapisan komunitas, baik secara vertikal maupun
horisontal. Sebuah keadilan yang tercipta antara pemimpin utama, dibawahnya,
dan seterusnya, dan juga keadilan dalam suatu lapisan masyarakat. Dari tujuan
ini, kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah mempelajari ilmu politik
itu diwajibkan bagi setiap orang? Itu juga yang menjadi pertanyaan At-Tusi.
Mungkin dalam hal ini kita bisa setujui Antony Black yang berpendapat bahwa
disinilah muncul sebuah sentiment egalitarian, yang mungkin lebih dekat dengan
keilmuan Sunni dari pada Syiah. Sejauh pembacaan terhadap pemikiran politik
at-Tusi, mengisyaratkan akan adanya pembelajaran tentang ilmu politik bagi
semua orang. Tetapi bagaimanapun juga, tujuan politik adalah kebajikan,
dan bahwa setiap orang harus belajar untuk mencapai kesempurnaan ini.
Menjadi menarik pula ketika at-Tusi menyebut asosiasi seluruh dunia
dibawah “pimpinan imam”, sebagai “Kota Utama”. Selain mirip dengan pemikiran Al
Farabi, hal ini mengisyaratkan pandangannya tentang komunitas Syiah (mungkin imamiyah)
sebagai kota Utama yang ia maksudkan. Menurutnya, Kota Utama digambarkan
sebagai komunitas orang-orang yang selaras dalam pandangan dan perbuatan,
sebuah komunitas spiritual yang saling berhubungan satu sama lain. Penduduk
Kota Utama, kendati beragam di seluruh dunia, namun dalam realitas mereka
saling bersepakat dalam jalinan kasih sayang, sehingga keseluruhan tampak satu.
Sebagai wujud kekhasan teori sosio-politiknya, Al Tusi membahas lebih
dalam sebuah Negara aktual yang dipimpin seorang raja “agung” (Badshah)
dalam wacana Nasihat kepada Raja. Mungkin bahasan ini hampir sama dengan
bahasan mengenai Kota Ideal, tetapi ini berbeda dalam cara pencapaiannya.
Menurut At-Tusi, jika kerajaan ingin mencapai kesuksesan, ia harus mempunyai
“persatuan spiritual”. Pandangan ini sangat jelas terlihat dalam konsepnya
tentang elemen cinta, bahwa sesungguhnya ketika seluruh penduduk sudah
menyadari akan kesatuan seabgai satu tubuh, maka kerja sama dan saling tolong
menolong akan tercipta dengan sendirinya. Semua ini ia ibaratkan seperti kerjasama
organ dalam tubuh manusia. Tingkat persatuan spiritual semacam itu menentukan
kemajuan dan kemunduran Negara.
Di Negara-negara aktual, kewajiban pemimpin adalah memikirkan keadaan
rakyatnya dan mengabdikan dirinya untuk menjaga keadilan. Artinya, secara
khusus tugas kepala Negara adalah menjaga keseimbangan antara kelompok-kelompok
sosial. Sehingga pemimpin harus menghindarkan diri dari dominasi kelompok. Maka
secara tidak langsung, jelas terlihat pemikiran sosio-politik Nasruddin At-Tusi
ketika menjadikan status, atau kelas sebagai perhatian utama pemerintah.
c. Kemanusiaan
Pemikiran politik al Tusi didasarkan atas pandangan tentang
kemanusiaan sebagai jalan tengah antara tingkatan intelektual dan spiritual
yang lebih tinggi dengan tingkatan lahir yang fana. Pendapat ini mirip dengan
pemikiran Al Farabi, bahwa setiap orang mampu mencapai kebahagiaan abadi,
tergantung pada upaya masing-masing. Pandangan tentang kebebasan manusia ini
berjalan seiring dengan pandangan keluhuran fitrah manusia. Menurutnya, manusia
diciptakan Tuhan sebagai makhluk paling mulia, akan tetapi kesempurnaanya
menjadi tanggung jwab penalarannya sendiri yang merdeka.[5]
Mengenai kecenderungan moral manusia, at-Tusi menyatakan bahwa sebagian
manusia menurut fitrahnya baik, sedangkan yang lain baik menurut hukum agama”.
(Akhlaqi Nasiri. hal 210). Beliau menyimpulkan bahwa kesejahteraan
manusia membutuhkan; pertama, pengaturan dunia materi oleh akal, melalui
seni dan ketrampilan. Kedua, membutuhkan pendidikan, disiplin dan
kepemimpinan. Menurutnya manusia pada awal penciptaanya diadaptasikan pada dua
keadaan ini, yaitu fisik dan intelektual, sehingga diperlukan para nabi dan
filsuf, imam, pembimbing, tutor dan instruktur.
d. Filsafat
Jiwa
Thusi
berasumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang bisa terbukti sendiri dank
arena itu tidak memerlukan bukti lain. Lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan.
Dalam masalah semacam ini, pemikiran yang lepas dari eksistensi orang itu
sendiri merupakn suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis sebab suatu
argument mensyaratkan adanya seorang ahli argument dan sebuah masalah untuk
diargumentasi, sedangkan dalam hal ini keduanya sama yaitu jiwa.[13]
Jiwa merupan subtansi sederhana dan
immaterial yang dapat merasa sendiri. Ia mengontrol tubuh melalui otot-otot dan
alat-alat perasaan, tapi ia sendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alat tubuh.
Setelah menyebutkan argumentasi Ibnu Miskawaih mengenai jasmaniah jiwa dari
sifatnya yang tidak dapat dibagi, kemampuanya untuk membuat bentuk-bentuk baru
tanpa kehilangan bentuk-bentuknya yang lama, pemahamannya akan bentuk-bentuknya
yang bertentangan pada waktu yang sama, dan pembetulannya akan ilusi rasa.
Thusi menambahkan menambahkan dua
argumentasinya sendiri. Penilaian atas logika, fisika, matematika, teologi, dan
sebagainya, semuanya ada di dalam satu jiwa tanpa bercampur baur dan dapat
diingat dengan kejelasan yang khas, yang mustahil ada di dalam suatu subtansi
material. Oleh karena itu, jiwa merupakn suatu subtansi immaterial. Lagi pula,
akomodasi fisik itu terbatas, sehingga seratus orang tidak dapat ditempatkan di
dalam sebuah tempatyang dibuat untuk lima puluh orang, hal ini tidak berlaku
bagi jiwa. Dapat dikatakan bahwa jiwa mempunyai cukup kemampuan untuk
menempatkan semua gagasan dan konsep objek yang dikenalnya kedalam banyak ruang
agar setiap waktu diperlukan. Ini juga membuktikan bahwa jiwa merupakan suatu
subtansi yang sederhana dan immaterial.
Dalam ungkapan umum “kepalaku, mataku,
telingaku,” kata “ku” menunjukkan
induvidualitas ( huwiyyah ) jiwa, yang
memiliki anggota-anggota tubuh ini, dan bukan jasmaniyah. Memang, jiwa
memerlukan tubuh sebagai alat penyempurna dirinya, tetapi ia tidak begitu,
dikarenakan pemilikannya akan tubuh.
Ath-Thusi menambahkan jiwa
imajinatif yang menempati posisi tengah
diantara jiwa hewan dan manusiawi. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal (
nutq ) yang menerima pengetahuan dari akal pertama. Akal itu ada dua jenis
yaitu akal teoritis dan akal praktis, sebagaiman yang dikemukan oleh
Aristoteles. Dengan mengikuti pendapat Al-Kindi, Ath-Thusi beranggapan bahawa
akal teoritis merupakan suatu potensialita, yang perwujudannya mencangkup empat
tingkatan, yaitu akal material ( Aql-I Hayulani ), akal malaikat ( Aql-I malaki
), akal aktif ( ‘Aql-I bi al-Fi’il ), dan akal yang diperoleh (‘Aql-I Mustafad
). Pada tingkatan akal yang diperoleh setiap bentuk konseptual yang terdapat
didalam jiawa menjadi nyata terlihat, seperti wajah seseorang yang ada didalam
kaca yang dapat dilihat oleh orang tersebut. Di pihak lain, akal praktis
berkenaan dengan tindakan-tindakan yang tidak sengaja dan sengaja. Oleh karena
itu, potensialitasnya diwujudkan lewat tindakan tindakan moral, kerumah
tanggaan dan politis.[14]
Jiwa imajinatif berkenaan dengan
presepsi-presepsi rasa dari satu pihak, dan dengan abstraksi-abstraksi rasional
dari pihak lain, sehingga jika ia disatuakan dengan jiwa hewani, ia akan
bergantung kepadanya dan hancur bersamanya. Akan tetapi, jika ia dihubungkan
dengan jiwa manusia, ia menjadi terlepas dari anggota-anggota tubuh dan ikut
bergembira dan bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah
keterpisahan jiwa dan tubuh, suatu jejak imajinasi tetap berada dalam
bentuknya, dan hokum atau perhargaan jiwa manusiawi menjadi bergantung pada
jejak ini ( hai’at ) yang dikenal atau dilakukan oleh jiwa imajinatif di dunia
ini.
Imajinasi
sensitive dan kalkualtif Aristoteles jelas merupakn struktur jiwa
imajinasi Thusi, tetapi tindakannya menghubungkan jiwa imajinatif dengan teori
hukum dan penghargaan yang berbelit-belit diakhirat, ini merupakan
gagasan-gagasannya sendiri. Adapun mengenai tradisi yang diterimannya dari Ibnu
Sina dan Al-Ghazali, Ath-Thusi mempercayai lokalisasi fungsi di dalam otak. Dia
telah menempatkan akal sehat ( Hiss-I Mushtarak ) dalam ruangan otak yang pertama,
persepsi ( Mushawwirah ) di awal bagian pertama ruang otak yang kedua,
imajinasi dibagian depan ruang otak yang ketiga, dan ingatan dibagian belakang
otak.
e. Metafisika
Menurut Thusi, metafisika terdiri atas
dua bagian, ilmu ketuhanan ( ‘Ilm-I Ilahi ) dan filsafat pertama ( Falsafah-I
Ula ) pengetahuan tentang tuhan, akal dan jiwa merupakan ilmu ketuhan dan
pengetahuan mengenai alam semesta dan hal-hal yang berhubunga dengan alam
semesta merupakan filsafat pertama. Pengetahuan tentang kelompok-kelompok
ketunggalan dan kemejemukan, kepastian dan kemungkinan, esensi, dan eksistensi
kekekalan dan ketidak kekalan juga membentuk bagian dari filsafat pertama
tersebut.
Diantara cabang (furu’) metafisika itu
termaksuk pengetahuan kenabian ( Nubuwwat ), kepemimpinan spiritual ( Imamat )
dan hari pengedalin (Qiyamat ). Jelajah subjek itu menunjukan bahwa metafisika
merupakan esensi filsafat Islam dan lingkup sumbangan utamanya bagi sejarah
gagasan-gagasan.[15]
f. Logika
Mengenai logika, karya-karyanya meliputi
Asas Al-Iqtibas, Syarh-I Mantiq Al-Isyarat, Ta’adil Al-Mi’yar dan Tajrid fi
Al-Mantiq. Karya yang disebut pertama memberikan penjelasan yang gambalang
mengenai masalah itu dalam bahasa Persia atas dasar logika Ibnu sina dalam
Asy-Syifa.
Ath-Thusi menganggap logika sebagai suatu
ilmu dan suatu alat ilmu. Sebagai ilmu, ia bertujuan memahami makna-makna dan
sifat dari makna-makna yang dipahami itu. Adapun sebagai alat, aia menjadi
kunci unutuk memehami berbagai ilmu. Kalau pengetahuan tentang makan dan sifat
dari makna-makna itu menjadi sedemikan berurat akar di dalam pikiran sehingga
tidak diperlukan lagi pemikiran refleksi, ilmu logika menjadi suatu seni yang
bermanfaat ( san’at ) yang membebaskan pikiran dari kesalahan pengertian di
suatu pihak, dan kekacauan di lain pihak.
Setelah mendefenisikan logika Ath-Thusi,
sebagaimana Ibnu Sina memulai dengan pembahasan pendek mengenai teori
pengetahuan. Semua pengetahuan adalah konsep ( Tashawwur ) atau penilaian (
Tashdiq ) ; yang pertama bias didapat lewat defenisi dan yang kedua lewat
silogisme. Dengan begitu, defenisi dan silogisme merupak dua alat untuk
mencapai pengetahuan.
Tidak seperti Aristoteles, Ibnu Sina
membagi semua silogisme menjadi silogisme kopulatif ( Iqtirani ) dan silogisme
ekseptif ( Is-Titsna’I ). Tusi mengikuti pembagian ini dan mengabungkannya
dengan caranya sendiri. Karya-karyanya dibidang logika secara garis besar
bercorak logika Aristoteles, tetapi ia tidak menyebutkan tiga silogisme ,
melainkan empat sumber dan sumber dari bentuk keempat ini terdapat pada
Orgonon-nya Aristoteles ataupun karaya-karya logika Ibnu Sina.[16]
g. Kenabian
Setelah menetapkan kebebasan berkehendak
dan kebangkitan kembali tubuh. Thusi selalu menetapkan perluya kenabian dan
kepemimpinan spiritual. Pertentangan minat serta kebebsan induvidu
mengakibatkan tercerai berainya kehidupan sosial, dan ini memerlukan aturan
suci dari tuhan untuk mengatur urusan-urusan manusia. Tapi Tuhan sendiri berada
diluar jangkauan indra , oleh karena itu, dia mengutus para nabi untuk membantu
orang-orang. Pada gilirannya, ini memerlukan pranata kepemimpinan spiritual
setelah para nabi untuk menerapkan Aturn suci tersebut.[17]
h. Tuhan
Setelah menyangkal kemungkinan logis
eteisme dan adanya dualitas pokok, Thusi tidak seperti Farabi, Ibnu Miskawaih,
dan Ibnu Sina, mengemukakan bahwa logika dan metafisika sama sekali tidak dapat
membuktikan eksistensi Tuhan secara rasional. Sebagai penyebab utama bagi
adanya bukti-bukti dan kerenanya merupakan dasar dari semua logika dan
metafisika. Dia sendiri tiadak bergantung pada bukti-bukti logis, sebagaiman
hokum-hukum dasar logika formal, ia tidak memerlukan dan memberikan kemungkinan
untuk pembuktian. Ia adalah prinsip logika kosmik yang bersifat a priori,
mendasar, perlu dan membuktikan diri. Eksistensinya harus diterima dan dianggap
sebagai postulat, bukannya dibuktikan. Dari studi kehidupan moral pun, Thusi
sampai pada kesimpulan yang sama dan seperti Kant pada zaman modern, dia
beranggapan bahwa eksistensi Tuhan merupakan suatu postulat pokok etika.
Selnjudnya Thusi mengemukakan bahwa bukti
mengisyaratkan pemahaman sempurna tentang sesuatu yang harus dibuktikan. Dan
karena mustahil bagi manusia yang terbatas untuk memahami Tuhan dalam
keseluruhan-Nya, dan mustahil pula bagi manusia untuk membuktikan eksistensi-Nya.
Msalah mengenai apakah dunia ini kekal
(qodim) atau diciptakan oleh Tuhan dari ketidakadaan ( hadis ) merupakan salah
satu masalah yang sangat membingungkan dalam filsafat muslim. Aristotelis
mendukung pendapat bahwa dunia ini kekal, menyifatkan gerakan pada penciptaan
Tuhan, sang penggerak utama. Ibnu Miskawaih setuju dengan Aristoteles yang
menganggap Tuhan sebagai penyebab adanya gerakan; tetapi tidak seperti filusuf
Yunani itu, dia mengemukakan bahwa dunia ini, baik dalam bentik meterinya diciptakan
Tuhan dari ketidakadaan. Adapun Thusi dalam karyanya Tashawwurat ( yang ditulis
pada masa pemerintahanIslamailiah) melakukan suatu upaya perujukan, secara
setengah hati antara Aritoteles dan Ibnu Maiskawaih. Dia mulai dengan mengecam
doktrin creatio ex nihilo. Pandangan yang menyatakan adanya waktu ketika
didunia ini belummaujud dan kemudian tuhan menciptakannya dari ketiadaan,
secara jelas mengisyaratkan bahwa Tuhan bukanlah penciptaan sebelum adanya
penciptaan dunia ini atau kekuatan penciptaan-Nya masih bersifat potensial yang
kemudia hari batu diwujudkan, dan ini merupakan sangkalan atas daya penciptaan
yang kekal. Oleh sebab itu logisnya, Tuhan itu selamanya merupakan pencipta
yang mengaitkan eksistensi penciptaan kepada diri-Nya. Dunia ini, dengan kata
lain, merupakan sesuatu yang sama kekalnya dengan tuhan. Disini Thusi menutup
pembahasan ini dengan mengemukakan bahwa dunia ini kekal karena kekuasaan Tuhan
yang menyempurnakannya meskipun dalam hak dan kekuatannya sendiri, ia tercipta
( muhdats ).
Dalam karyanya Fushul ( risalah yang
terkenal dan paling banyak diulas ), Thusi meninggalkan sikap tersebut
sekaligus mendukung sepenuhnya doktrin ortodoks mengenai creation ex nihilo.
Dengan menggolongkan Dzat menjadi yang pasti dan mungkin, dia mengemukakan
bahwa eksistensi yang mungkin itu bergantung pada yang pasti, dan karena ia
maujud akibat dari sesuatu yang laindari dirinya, tidak dapat dikatakan bahwa
ia dalam keadaan maujud sebab penciptaan yang maujud itu mustahil. Karena
sesuatu yang tidak maujud itu tidak ada, begitu juga Kemaujudan yang pasti itu,
menciptakan yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut
penciptaan dan hal-hal yang ada itu di sebut yang tercipta ( muhdats ).
Dalam kitab Tashawwurat, Thusi setuju
dengan Ibnu Sina yang berpendapat bahwa dari suatu ketaiadaan dapat satu, dan
dengan mengikuti prinsip ini, dia menerangkan asal ( shudur ) dunia ini dari
kemaujudan yang pasti itu dengan gaya Neo-Platonik. Dalam karyanya Risalah-I
‘Aql, Risalah-I ‘Hal wa Ma’lu-lat, dan Syarh-Hsyarat juga dia mendukung baik
secara logis maupun matematis, penjamakan dalam proses penciptaan sebagai suatu
keseluruhan. Akan tetapi dalam karyanya berikut, Qawa’id al-‘Aqa-id, Tarjid
al-‘Aqa-id, dan Fushul, dia secara jelas menyerang dan menumbangkan dasar
paling penting dari prinsip ini, yang sebelumnya amat dipercayai,. Refleksi
akal pertama dikatakannya sebagai telah menciptakan akal, jiwa dan tubuh
lingkungan pertama. Dikemukakannya bahwa sikap ini jelas mengisyaratkan
kemejemukan pada yang tercipta oleh akal pertama, yang bertentangan dengan
prinsip bahwa dari satu ketakadaan muncul satu. Adapun mengenai sumber
kemejemukan, lebih jauh dia mengemukakan bahwa kemajemukan bisa maujud melalui
wawenamg Tuhan dan bisa pula tanpa
wawenang Tuhan. Jika ia maujud, karena wewenang Tuhan, tidak ada keraguan lagi
bahwa ia dating dari Tuhan. Dipihak lain jika ia maujud tanpa wewenang Tuhan,
itu bererti adanya tuhan selain Allah.[18]
Hal itu diungkapkan kembali dalam
Tashawwurat. Thusi berpandangan bahwa refleksi Tuhan sepadan dengan penciptaan
dan merupakan hasil dari kesadaran diri-Nya. Di situ dia menganggap Tuhan
sebagai pencipta yang bebas dan menumbangkan teori penciptaan karena desakan.
Jika tuhan menciptakan karena dia butuh mencipta, Thusi mengemukakan berarti
tindakan-tindakanya tentu berasal dari esensi-Nya. Dengan begitu jika suatu
bagian dari dunia ini menjadi tak maujud, esensi Tuhan itu tentu juga menjadi
Tiada, karena penyebab keberadaan itu ditentukan oleh ketiadaan satu bagian
dari penyebabnya. Hal itu selanjudnya ditetapkan oleh ketiadaan bagian lain
dari penyebabnya dan seterusnya. Karena semua yang ada itu bergantung perunya
Tuhan, ketidakadaan mereka akhirnya menjadi ketidaan Tuhan sendiri.[19]
DAFTAR PUSTAKA
Dedi
Suryadi, Pengantar Filsafat Islam,
[Bandung, Pustaka Setia],2009
M.M.Syarif,
Para Filosof Muslim, [Bandung,
Penerbit Mizan], 1993
Abu
Ahmadi,dkk, Filsafat Islam,[Semarang,
Toha Putra], 1988
http;//demimasa2.
Tripod.com/tokoh3, diakses pada tanggal 2 oktober 2011
Black, Antony. Pemikiran
Politik Islam. Dari masa nabi Hingga Masa Kini. [Serambi. Jakarta]: 2006
[1]
Dedi Suryadi, Pengantar Filsafat Islam, [Bandung,
Pustaka Setia,2009],hlm.246
[2]
M.M.Syarif, Para Filosof Muslim, [Bandung, Penerbit
Mizan, 1993], hlm. 235
[3]
Abu Ahmadi,dkk, Filsafat Islam,[Semarang, Toha Putra,
1988] hlm.231
[4]
http;//demimasa2.
Tripod.com/tokoh3, diakses pada tanggal 2 oktober 2011
[5]
Abu Ahmadi,dkk,Ibid,hlm.232
[6]
Black,
Antony. Pemikiran Politik Islam. Dari
masa nabi Hingga Masa Kini. [Serambi. Jakarta: 2006], hlm. 67-70.
[8]
Black,
Antony.Ibid,hlm.70
[9]
Dedi Suryadi, Pengantar Filsafat Islam,Ibid,hlm.249
[10]
M.M.Syarif, Para Filosof Muslim, Ibid, hlm.247
[12]
Ibid,hlm.191
[13]
M.M.Syarif, Para Filosof Muslim,Ibid,hlm.249
[14]
Dedi Suryadi, Pengantar Filsafat Islam,Ibid,hlm.255
[15]
Ibid,hlm.256
[16]
Abu Ahmadi,dkk, Filsafat Islam,Ibid,hlm.233
[17]
M.M.Syarif, Para Filosof Muslim,Ibid,hlm.254
[18]
M.M.Syarif,Ibid,hlm.254
[19]
Dedi Suryadi,Ibid,hlm.260
| Terimakasih atas artikel nya , :) , tetapi karya nya banyak bgt ya ?
BalasHapus