Jumat, 25 November 2011

1. Biografi Nasiruddin Ath-Thusi


NASIRUDDIN AL-TUSI
(1201 – 1274 M)
1.      Biografi Nasiruddin Ath-Thusi
Nasiruddin Ath-Thusi dikenal sebagai  “ Ilmuan serba bisa “ (Multi talented). Julukan (laqob) itu rasanya amat pantas disandangnya karena sumbangannya bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tak ternilai besarnya. Selama hidupnya, ilmuan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan berbagai ilmu, seperti astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hinga ilmu agama islam.
       Serjan Muslim yang kemansyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja seperti Thomas Aquinas, memiliki nama lengkap Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan  Nasiruddin Ath-Thusi. Ia lahir pada tanggal 18 Februari tahun 1201 M / 597 H, di kota Thus yang terletak di dekat Mashed, disebelah timur lautan Iran. Sebagai seorang Ilmuan yang amat kondang pada zamannya, Nasiruddin memiliki banyak nama antara lain, Muhaqqiq, Ath-Thusi, Khuwaja Thusi, dan Khuwaja Nasir.[1]
       Nasiruddin lahir pada awal abad ke 13 M, ketika itu dunia islam telah mengalami masa-masa sulit. Pada saat itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat menginvensi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam. Hal itu dipertegas J.J.O’Connor dan E.F.Robertson, bahwa pada masa itu, dunia diliputi kecemasan. Hilang rasa aman dan ketenangan itu membuat banyak ilmuwan sulit untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya. Nasiruddin pun tak dapat mengelak dari konflik yang melanda negerinya. Sejak kecil, Nasiruddin digembleng ilmu oleh ayahnya yang beprofesi sebagai ahli hukum di sekolah Imam Kedua Belas.
       Selain digembleng ilmu agama di sekolah itu, Ath-Thusi mempelajari Fiqih, Ushul, Hikmah dan Kalam, terutama Isyarat-nya Ibnu Sina, dari Mahdar Fariduddin Damad,dan Matematika dari Muhammad Hasib, di Nishapur. Dia kemudian pergi ke Baghdad di sana, dia mempelajari ilmu pengobatan dan Filsafat dari Qutbuddin,dan juga Matematika dari Kamaluddin bin Yunus dan Fiqih serta Ushul dari Salim bin Bardan.[2]
       Pada tahun 1220 M, invasi militer Mongol telah mencapai Thus dan kota kelahiran Nasiruddin pun dihancurkan. Ketika situasi keamanan tak menentu, penguasa Islamiyah ‘Abdurahim mengajak sang ilmuwan untuk bergabung. Tawaran itu tidak disia-siakannya, Nasiruddin pun bergabung menjadi salah seorang pejabat istana Islamiyah. Selama mengabdi di istana itu, Nasiruddin mengisi waktunya untuk menulis beragam karyanya yang penting tentang logika, filsafat, matematika, serta astronomi. Karya pertamanya adalah kitab Akhlaq-I Nasiri yang ditulisnya pada tahun 1232 M.
       Pasukan Mangol yang dipimpin Hulagu Khan – cucu Chinggis Khan pada tahun 1251 M akhirnya menguasai Istana Alamut dan meluluhlantakkannya. Nyawa Nasiruddin selamat karena Hulagu ternyata sangat menaruh minat terhadap ilmu pengetahuan. Hulagu yang dikenal bengis dan kejam, tapi Nasiruddin diperlakukan dengan penuh hormat. Dia pun diangkat Hulagu menjadi panesehat dibidang Ilmu Pengetahuan. Meskipun telah m,enjadi panesehat pasukan Mangol, Nasiruddin tidak mampu menghentikan ulah dan kebiadapan Hulagu  Khan yang membumi hanguskan kota metropolis intelektual dunia yaitu kota Baghdad, pada tahun 1258 M. terlebih disaat itu, dinasti Abbasiyah berada dalam kekuasaan Khalifah Al-Musta’sim yang lemah. Terbukti pada militer Abbasiyah tak mampu membendung gempuran pasukan Mongol.[3]
       Meskipun tak mampu mencegah terjadinya serangan bangsa Mongol, paling tidak Nasiruddin bisa menyelamatkan diri dan masih berkesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. “Hulagu sangat bangga sekali karena berhasil menakhlukkan Baghdad dan lebih bangga lagi karena ilmuan terkemuka seperti Ath-Thusi bisa bergabung bersamanya” paparan O’Connor dan Robertson dalam tulisan nya tentang Sejarah Nasiruddin sebagaimana dalam tulisan Heri Ruslan.[4]
       Hulagu sangat senang sekali ketika Nasiruddin mengungkapkan rencananya untuk membangun Observatorium di Maragha. Saat itu, Hulagu telah menjadikan wilayah Malagha yang berada wilayah Azerbaijan sebagai ibu kota pemerintahannya. Pada tahun 1259 M. Nasiruddin pun mulai membangun Observatorium yang megah. Jejak dan bekas bangunan observatorium itu masih ada dan dapat kita jumpai sampai sekarang ini.  Observatorium Maragha mulai beroperasi pada tahun 1262 M. pembangunan dan operasional observatorium itu melibatkan serjana dari Persia dibantu astronom dari Cina. Teknologi yang digunakan di observatorium itu terbilang canggih pada zamannya. Beberapa peralatan dan teknologi penguak luar angkasa yang digunakan di observatorium itu ternyata merupakan penemuan dari Nasiruddin, yang salah satunya yaitu Kuadran Azimuth. Selain itu juga, dia membangun perpustakaan di observatorium itu, koleksi buku-bukunya terbilang lengkapyakni terdiri dari beragam Ilmu-ilmu pengetahuan. Ditempat itu, Nasiruddin tak Cuma mengembangkan bidang astronomi saja. Dia pun turut mengembangkan filsafat dan matematika
       Di observatorium yang dipimpinnya itu, Nasiruddin Ath-Thusi berhasil membuat table pergerakan planet yang akurat. Kontribusi lainnya yang amat penting bagi perkembangan astronomi adalah kitab Zij-Ilkhani yang ditulis dalam bahasa Persia dan lalu diterjemahkan kedalam bahasa arab. Kitab itu disusun stelah 12 tahun memimpin observatorium Maragha. Selain itu Nasiruddin juga berhasil menulis kitab terkemuka lainnya yang berjudul At-Tadhkira fi’ilm Al-hay’a ( Memoar Astronomi ). Nasiruddin mampu memodifikasi model semesta apisiklus Ptolomeus  dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit. Nasiruddin meningal dunia pada tahun 672 H / 1274 M dikota Baghdad, yang pada saat itu dibawah pemrintahan Abaqa ( Pengganti Hulagu ) yang masih mendapat dukungan sampai akhir hayatnya.[5]

2.      Integralitas Pemikiran
Abad 13 adalah masa kritis “kekhalifahan” Islam, sehingga sangat sedikit pemikiran politik yang berkembang. Bahkan sulit menemukan pemikir politik yang orisinal pada periode pasca-mongol tersebut. Akan tetapi kita mengenal Nasiruddin Al Tusi, seorang pemikir cemerlang yang memainkan peran intelektual dan pemikiran pemerintahan pada masanya. Beliau mempelajari filsafat Yunani dan filsafat Islam seperti karya-karya Aristoteles, Al Farabi, Ibn Sina dan sebagainya. Beliau juga dikenal ahli dalam bidang teologi dan fikih yang sangat berpengaruh di Nisapur, sebuah kota yang menjadi pusat peradaban berpengaruh.
Beliau juga dikenal sebagai seorang astrolog handal serta menguasai matematika. Walaupun keahliannya ini menjadikannya tidak bebas dan dipaksa bekerja hampir dua puluh tahun sebagai astrolog di sebuah benteng Alamut dibawah kekuasaan dinasti Nizari-Islamiliyah. Menurut Antony Black, At Thusi tidak pernah menjadi pengikut Islamiliyah, kendati ide-ide Ismailiyah muncul dalam karyanya, yang kelihatannya telah diedit sebagian dikemudian hari. Bisa jadi at-Thusi juga menulis sebuah ringkasan tentang ajaran-ajaran Nizari Islamiliyah yang berjudul ‘Rawdhah alTaslim’ atau Tashawurat.[6]
Dalam pemikiran agama, al-Tusi mengadopsi ajaran-ajaran neo-Platonik Ibn Sina dan Suhrawardi, yang keduanya ia sebut, demi alasan-alasan taktis, “orang bijak” (hukuma) bukan sebagai Filsuf. Akan tetapi, berbeda dari Ibn Sina, ia berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan, akan tetapi sebagaimana doktrin Syiah, manusia membutuhkan pengajaran yang otortatif, sekaligus filsafat. Ini menunjukkan kecenderungan teologi mistisnya.
Dalam pemikiran politik, al Tusi cenderung menyintesiskan ide-ide Arsatoteles dan tradisi Iran. Ia menggabungkan filsafat dengan genre Nasehat kepada Raja, sehingga ia tetap memelihara hubungan antara Syiah dan filsafat. Buku etika-nya disajikan sebagai sebuah karya filsafat praktis. Karya ini membahas persoalan individu, keluarga, dan komunitas kota, provinsi, desa atau kerajaan. Pembahasan bagian I menggunakan etika Miskawaih, bagian II menggunakan ide Bryson dan Ibn Sina, dan bagian III menggunakan pemikiran Al Farabi.[7]  
Nasiruddin Al Tusi bermaksud menyatukan filsafat dan fikih berdasarkan pemikiran bahwa perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat. Fitrah memberikan manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai pengetahuan batin dan kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk pada kebiasaan komunitas, atau diajarkan oleh seorang nabi atau imam, yaitu hukum Tuhan, dan ini merupakan pokok bahasan fikih. Keduanya dibagi lagi menjadi norma-norma untuk 1). Individu, 2). Keluarga, dan 3). Penduduk desa atau kota. Menurutnya filsafat mempunyai kebenaran-kebenaran yang tetap sedangkan fikih ataupun hukum Tuhan mungkin berubah karena revolusi atau keadaan, perbedaan zaman dan bangsa serta terjadinya peralihan dinasti.  Beliau menafsirkan Negara atau dinasti seperti dawlah menurut pandangan Ismailiyah, hal ini terlihat dari pandangannya tentang perubahan pada hukum Tuhan oleh nabi-nabi, penasiran fuquha dan juga para imam. Sehingga at-Tusi menganggap syariat sebagai suatu tatanan hukum yang tidak mutlak dan final, sebagaimana diyakini kalangan Sunni.[8]
3.      Karya-karya Nasiruddin Ath-Thusi
       Benar kalau dikatakan bahwa Ath-Thusi adalah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang Ilmu, bukan hanya seorang filsuf semata. Hal itu terlihat dari berbagai disiplin keilmuan yang ditulisnya dalam bentuk buku atau kitab.
       Meskipun Ath-Thusipandai dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan namun ia bukan seorang ilmuwan / filsuf yang kreatif sebagaimana filsuf yang ada ditimur yang memuat sebelumnya. Ia bukan termaksuk ahli fikir yang kreatif yang memberikan gagasan-gagasan murni yang cemerlang. Hal ini tampak pada kedudukan ia sebagai pengajur gerakan kebangktan kembali dan dalam karya-karyanya kebanyakan bersifat eklektis yakni bersifat memilih dari berbagai sumber. Tetapi meskipun demikian, ia tetap memiliki cirri khas tersendiri dalam menyajikan bahan tulisannya. Kepandaiannya yang beragam sungguh mengagumkan. Minatnya yang banyak dan berjenis-jenis mencakup filsafat, matematika, astronomi, fisika, ilmu pengobatan, mineralogy, music, sejarah , kesusastraan dan dogmatik.
Adapun karya-karya Nasiruddin Ath-Thusi sebagi berikut[9].
1.      Karya dibidang logika diantaranya:
a.       Asas Al-Iqtibas
b.      At-Tajrid fi Al-Mantiq,
c.       Syarh-I Mantiq Al-Isyarat
d.      Ta’dil Al-MI\i’yar
2.      Di bidang metafisika meliputi :
a.       Risalah dar Ithbat-I Wajib,
b.      Itsar-I Jauhar Al-Mufariq,
c.       Risalah dar Wujud-I Jauhar-I Mujarrad,
d.      Risalah dar Itsbat-I ‘Aqi-I Fa’al,
e.       Risalah Darurat-I Marg,
f.       Risalah Sudur Kharat Az Wahdat,
g.      Risalah ‘Ilal wa Ma’lulat Fushul,
h.      Tashawwurat,
i.        Talkis Al-Muhassal dan
j.        Hall-I Musykilat Al-Asyraf.
3.      Di bidang etika meliputi :
a.       Akhlak-I Nashiri,
b.      Ausaf Al-Asyarf.
4.      Sementara di bidang dogmatik adalah :
a.       Tajrid Al’Aqa’id,
b.      Qawa’id Al-‘Aqa’id,
c.       Risalah-I I’tiqodat.
5.      Di samping itu, beberapa karyanya dalam bidang astronomi terangkum pada :
a.       Al-Mutawassithat Bain Al-Handasa wal Hai’a,: buku suntingan dari sejumlah karya Yunani, Ikhananian Table ( penyempurnaan Planetary Tables )
b.      Kitab At-Tazkira fi al-Ilmal-hai’a; buku ini terdiri dari atas empat bab ( I ) pengantar geometrik dan sinematika dengan diskusi-diskusi tentang saat berhenti, gerak-gerik sederhan, dan kompleks. ( II ) pengertian-pengertian astronomikal secara umum, perubahan sekular pembiasan ekliptik. Sebagian bab ini diterjemahkan oleh Carr De Vaux penuh dengan kritikyang tajam atas Almagest karya Ptolemy. Kritikan ini merupakan pembuka jalan bagi Copernicus, terutama pembiasan-pembiasan pada bulan dan gerakan dalam ruangan planet-planet.( III ) bumi dan pengaruh benda-benda angkasa atasnya, termaksuk di dalamnya tentang laut, angin, pasang surut, serta bagaimana hal ini terjadi. ( IV ) besar dan jarak antar planet.
c.       Zubdat Al-Hai’a 9 yang terbaik dari astronomi),
d.      Al-Tahsil fil An-Nujum,
e.       Tahzir Al-Majisti,
f.       Mukhtasar fial-ilm At-Tanjim wa Ma’rifat At-Taqwin ( ringkasan astrologi dan penanggalan),
g.      Kitab Al-Bari fi Ulum At-Taqwim wa Harakat Al-Afak wa Ahkam  An-Nujum ( buku terunggul tentang Almanak, gerak bintang-bintang dan astrologi kehakiman ).
6.      Di bidang arritmatika, geometri, dan trogonometri adalah :
a.       Al-Mukhtasar bi Jami Al-Hisab bi At-Takht wa At-Turab ( ikhtisar dari seluruh perhitungan dengan tabel dan bumi ),
b.      Al-Jabr wa Al-Muqabala ( risalah tetang Al-Jabar )
c.       Al-Ushul Al-Maudua ( risalah mengenai Euclidas Postulate ),
d.      Qawa’id Al-Handasa ( kaidah-kaidah geometri ),
e.       Tahrir al-Ushul,
f.       Kitab Shakl Al-Qatta ( risalah tentang Trilateral ), sebuah karya dengan keaslian luar biasa, yang ditulis sepanjang abad pertengahan. Buku tersebut sanagat berpengaruh di Timur dan di Barat sehingga menjadi rujukan utama dalam penelitian trigonometri.
7.      Di bidang optic, ia tuangkan keilmuannya tersebut dalam
a.       Tahrir Kitab Al-Manazir,
b.      Mabahis Finikas Ash-Shu’ar wa in Itaafiha ( penelitian tentang refleksi dan defleksi sinar-sinar).
8.      Di bidang seni ( syair ) meskipuntidak sekeliber Omar Khayam atau pun Jalaluddin Rumi, ia juga mampu menghasilkan karya yang diabadikan dalam buku yang berjudul Kitab fi Ilm Al-Mau-Siqi dan Kanz At-Tuhaf.
9.      Karya di bidang medical adalah kitab Al-Bab Bahiyah fi At-Tarakib As-Sultaniyah; buku ini bercerita tentang cara diet, peraturan-peraturan kesehatan dan hubungan seksual.
       Beberapa pikiran lainnya dapat dikemukaakn di sini tentang kajian perbandingan dan pembagiannya. Thusi dengan jelas menyatakan bahwa setiap perbandingan suatu besaran, apakah sepadan atau tidak dapat dikatakan sebagai bilangan, suatu pernyataan Newton yang membantu menegaskannya kembali dalam Universitas Arithemetic pada tahun 1707.
4.      Filsafat Nasiruddin Ath-Thusi
a.       Sosial-Politik
Nasiruddin at-Tusi adalah seorang pemikir politik prolifik. Dengan keahliaannya yang sangat komplit, at-Tusi mampu menyuguhkan sebuah pemikiran idealis tentang politik. Hal ini dapat dilihat ketika Tusi, pertama-tama mengkaji tentang kemanusiaan sebagai tahap awal munculnya politik dalam diri manusia, kemudian Ia juga membahas bagaimana fitrah manusia sebenarnya. Kedua adalah tentang masyarakat politik, beliau menjelaskan elemen-elemen masyarakat politik, seperti adanya kerja sama dalam bidang ekonomi, elemen keadilan, dan bahkan elemen cinta. Untuk itulah akan kita lihat pemikiran sosio-politiknya yang khas. Kemudian setelah terbentuk masyarakat politik, Tusi juga menjelaskan adanya kelompok masyarakat dengan status yang berbeda berdasarkan kemampuan dan usaha mereka masing-masing. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Aristoteles. Dan kesemuanya itu akan sangat jelas dan khas dalam pandangannya tentang Negara aktual yang bercorak Nasihat kepada Raja atau pemimpin, yang mengisyaratkan adanya sebuah “persatuan spiritual” dalam mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan.[10]
Di dalam menjelaskan adanya kerja sama dan organisasi sosial yang beliau sebut sebagai masyarakat politik, sebuah masyarakat yang tercipta karena secara fitrah manusia adalah makhluk sosial dan mempunyai kebebasan dalam berpikir. Disnini Nasiruddin at-Tusi membaginya kedalam tiga elemen dasar terciptanya masyarakat politik tersebut.
Elemen pertama adalah bidang ekonomi politik, khususnya ketrampilan. Kebutuhan hidup manusia disediakan oleh ‘pengaturan teknik (tadbir al-shna’i) seperti penanaman bibit, panen, membersihkan, menumbuk dan memasak’. Menurutnya, untuk alasan ini Kebijaksanaan Tuhan meniscayakan perbedaan hasrat dan pendapat manusia, sehingga setiap manusia menghasratkan pekerjaan yang berbeda-beda, ada yang menginginkan pekerjaan mulia, ada yang hina, dan kenyataanya kedua-duanya sama-sama merasa gembira dan puas.
Kemudian yang menarik disini ketika Tusi berpendapat bahwa  ketrampilan ini sangat bergantung pada uang. Menurutnya “uang” merupakan sebuah “instrumen keadilan”. Uang adalah hukum yang lebih rendah, mediator yang adil antara manusia dalam berhubungan ekonomi,  bahkan dapat dikatakan juga bahwa uang adalah merupakan “keadilan yang diam”. Selain uang, ketrampilan pun bergantung pada oraganisasi sosial. Menurutnya, karena manusia harus bekerja sama, maka spesies manusia pada hakikatnya membutuhkan perpaduan, yakni terbentuknya kehidupan sipil atau tamaddun.[7] Karena itu manusia pada dasarnya adalah penduduk kota atau warga Negara.
Selanjutnya yang dibutuhkan sebuah warga Negara adalah suatu manajemen khusus, yaitu syiasah atau pemerintahan. Pemerintahan dibutuhkan karena pertukaran moneter antar manusia kadang-kadang membutuhkan arbitase. Maka menururtnya elemen kedua dalam masyarakat politik adalah “keadilan”. Dalam hal ini at-Tusi sangat terpengaruh oleh Plato yang memandang keadilan sebagai inti kebajikan, harmoni keberagamaan. Kemudian ia melanjutkan bahwa keadialan di kalangan manusia tidak dapat dijalankan tanpa tiga hal; perintah Tuhan (numus-I ilahi), seorang pemberi keputusan diantara manusia (hakim) dan uang.[11]
Elemen terakhir yang mungkin paling unik adalah penjelasannya tentang asosiasi manusia dengan “cinta”, yang menurutnya memainkan peran lebih sentral dari pada teori sosial Islam lainnya. “Cinta” melahirkan kehidupan yang beradap (tamadun) dan persatuan sosial. Baginya cinta merupakan “penghubung semua masyarakat”. Cinta mengalir dari fitrah manusia itu sendiri (Mungkin ini dambil dari gagasan neo-Platonis). Menurutnya semakin kita tersucikan, semakin kita menjadi subtansi-subtansi sederhana yang mengetahui bahwa “tidak ada perbedaan antara memaknai atau mengabaikan sifat fisik” dan bahkan mencapai “kesatuan batin” melalui cinta satu sama lain. Sebagai contoh, At-Tusi memandang umat Islam terdiri atas asosiasi tunggal, sebagaimana pengertian Aristoteles. Sikap saling membantu dan mencintai serta kerja sama membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini secara tidak langsung melahirkan kemanuggalan semua orang pada Manusia Sempurna, sebagaimana diajarkan dalam doktrin Syiah Ismailiyah. Disini dapat kita lihat sepertinya Al Tusi telah berhasil mengintegrasikan pemikiran Aristoteles dan Syiah secara lebih mendalam.
Secara lebih khusus, Al Tusi seperti pemikir muslim lainnya memandang pemerintahan atau syiasah dalam kaitannya dengan perhatian pada karakter dan hak-hak istimewa pemimpin, yang beliau sebut sebagai raja (Malik). Beliau sangat rinci didalam menjelaskan adanya empat tipe pemerintah dari pemikiran filsafat Aristoteles, yaitu; pemerintahan yang mementingkan keagungan raja, kekuasaan, kemuliaan dan komunitas. Al Tusi hendak mengatakan bahwa keempat aspek itu sama-sama terdapat dalam sebuah pemerintahan; raja adalah sebuah “pemerintahan dari berbagai pemerintahan” yang berfungsi untuk mengorganisasikan ketiga aspek lainnya.[12]
Disini at-Tusi tampaknya mengaitkan pandangannya dengan pemerintahan  yang bernuansa keagamaan. Pemerintahan umat berurusan dengan peraturan-peraturan keagamaan dan dengan keputusan-keputusan intlektual. Walaupun at-Tusi barangkali merujuk pada “pemerintahan oleh rakyat untuk kebaikan bersama (politea), beliau tidak menfsirkannya dalam pengertian pemerintahan oleh rakyat, sebagaimana demokrasi. Namun, menurutnya pemerintahan seperti itu harus dipimpin oleh seorang istimewa yang ditunjuk oleh Tuhan dan agar rakyat mengikutinya. Dimana menurut pandanganYunani kuno disebut sebagai “pemilik Hukum” dan kaum Muslim menyebutnya dengan Syariat. Disini beliau menjadi sedikit berbeda dengan Al Farabi, dan menganggap bahwa pemerintahan “oleh rakyat” adalah bentuk pemerintahan yang baik. Dan mungkin kalau ditarik lebih jauh lagi pada masa sekarang, konsep sederhana Tusi tentang pemerintahannya ini sebagai awal perkembangan Syiah Imamiyah dan bahkan yang melahirkan Republik Islam yang pertama di Iran oleh Imam Khomeini.

b.      Terbentuknya Kelompok-kelompok Politik
Sebagaimana Al Farabi yang mencoba mengklasifikaskan manusia berdasarkan pembagian kerja dan kecenderungan individu dalam pemenuhan kebutuhannya, Nasiruddin al Tusi juga membagi komunitas manusia kedalam ; 1) keluarga, 2) Kedaerahan, 3) kota, 4) Komunitas besar, umam-I kabir, sebuah bangsa, dan 5) penduduk dunia. Yang menjadi menarik disini adalah bagaimana menghubungkan komunitas-komunitas tersebut? Al Tusi mengajukan sebuah pengajaran filsafat yang tercipta pada konsep tentang kepemimpinan (rais). Walaupun setiap kelompok mempunyai pemimpin masing-masing, kepala keluarga adalah bawahan dari kepala daerah, dan seterusnya, dan semuanya merupakan bawahan dari pemimpin dunia, sang pemimpin Mutlak bagi kehidupan politik manusia. Kelangsungan dan kesempurnaan setiap individu sangat tergantung pada komunitas yang terakhir ini.
Komunitas universal ini kemudian bergantung pada ilmu politik (hikmat-i al-madani) “kecakapan tertinggi” yang mengungguli seluruh kecakapan lainnya, yang menjadi “kajian hukum universal/Qawanin, yang menghasilkan manfaat terbaik bagi mayoritas, karena mereka diarahkan, melalui kerjasama, menuju kesempurnaan sejati. Menurutnya pengetahuan tertinggi mengenai hikmah merupakan fondasi keteraturan sosial.
Lebih rinci lagi, dan mungkin ini yang membedakannya dengan Al Farabi tentang pembagian kelas sosial, nampak At-Tusi sangat kontekstual terutama pada ranah hidupnya, yaitu khas Iran-Islam. Pengelompokan itu meliputi; 1). “ahli pena” yaitu orang-orang yang pakar dalam ilmu pengetahuan, yang meliputi  fikih, dokter, penyair, ahli geometri, astronom, dan keberadaan dunia sangat bergantung kepadanya. 2). “ahli pedang” yaitu para tentara dan prajurit. 3). “ahli bisnis” termasuk diantaranya para pedagang, pekerja terampil, dll. Dan 4). Petani.
Disini kita melihat bahwa tujuan ilmu politik adalah menciptakan keseimbangan diantara berbagai lapisan komunitas, baik secara vertikal maupun horisontal. Sebuah keadilan yang tercipta antara pemimpin utama, dibawahnya, dan seterusnya, dan juga keadilan dalam suatu lapisan masyarakat. Dari tujuan ini, kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah mempelajari ilmu politik itu diwajibkan bagi setiap orang? Itu juga yang menjadi pertanyaan At-Tusi. Mungkin dalam hal ini kita bisa setujui Antony Black yang berpendapat bahwa disinilah muncul sebuah sentiment egalitarian, yang mungkin lebih dekat dengan keilmuan Sunni dari pada Syiah. Sejauh pembacaan terhadap pemikiran politik at-Tusi, mengisyaratkan akan adanya pembelajaran tentang ilmu politik bagi semua orang. Tetapi  bagaimanapun juga, tujuan politik adalah kebajikan, dan bahwa setiap orang harus belajar untuk mencapai kesempurnaan ini.
Menjadi menarik pula ketika at-Tusi menyebut asosiasi seluruh dunia dibawah “pimpinan imam”, sebagai “Kota Utama”. Selain mirip dengan pemikiran Al Farabi, hal ini mengisyaratkan pandangannya tentang komunitas Syiah (mungkin imamiyah) sebagai kota Utama yang ia maksudkan. Menurutnya, Kota Utama digambarkan sebagai komunitas orang-orang yang selaras dalam pandangan dan perbuatan, sebuah komunitas spiritual yang saling berhubungan satu sama lain. Penduduk Kota Utama, kendati beragam di seluruh dunia, namun dalam realitas mereka saling bersepakat dalam jalinan kasih sayang, sehingga keseluruhan tampak satu.
Sebagai wujud kekhasan teori sosio-politiknya, Al Tusi membahas lebih dalam sebuah Negara aktual yang dipimpin seorang raja “agung” (Badshah) dalam wacana Nasihat kepada Raja. Mungkin bahasan ini hampir sama dengan bahasan mengenai Kota Ideal, tetapi ini berbeda dalam cara pencapaiannya. Menurut At-Tusi, jika kerajaan ingin mencapai kesuksesan, ia harus mempunyai “persatuan spiritual”. Pandangan ini sangat jelas terlihat dalam konsepnya tentang elemen cinta, bahwa sesungguhnya ketika seluruh penduduk sudah menyadari akan kesatuan seabgai satu tubuh, maka kerja sama dan saling tolong menolong akan tercipta dengan sendirinya. Semua ini ia ibaratkan seperti kerjasama organ dalam tubuh manusia. Tingkat persatuan spiritual semacam itu menentukan kemajuan dan kemunduran Negara.
Di Negara-negara aktual, kewajiban pemimpin adalah memikirkan keadaan rakyatnya dan mengabdikan dirinya untuk menjaga keadilan. Artinya, secara khusus tugas kepala Negara adalah menjaga keseimbangan antara kelompok-kelompok sosial. Sehingga pemimpin harus menghindarkan diri dari dominasi kelompok. Maka secara tidak langsung, jelas terlihat pemikiran sosio-politik Nasruddin At-Tusi ketika menjadikan status, atau kelas sebagai perhatian utama pemerintah.

c.       Kemanusiaan
Pemikiran politik al Tusi didasarkan  atas pandangan tentang kemanusiaan sebagai jalan tengah antara tingkatan intelektual dan spiritual yang lebih tinggi dengan tingkatan lahir yang fana. Pendapat ini mirip dengan pemikiran Al Farabi, bahwa setiap orang mampu mencapai kebahagiaan abadi, tergantung pada upaya masing-masing. Pandangan tentang kebebasan manusia ini berjalan seiring dengan pandangan keluhuran fitrah manusia. Menurutnya, manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk paling mulia, akan tetapi kesempurnaanya menjadi tanggung jwab penalarannya sendiri yang merdeka.[5]
Mengenai kecenderungan moral manusia, at-Tusi menyatakan bahwa sebagian manusia menurut fitrahnya baik, sedangkan yang lain baik menurut hukum agama”. (Akhlaqi Nasiri. hal 210). Beliau menyimpulkan bahwa kesejahteraan manusia membutuhkan; pertama, pengaturan dunia materi oleh akal, melalui seni dan ketrampilan. Kedua, membutuhkan pendidikan, disiplin dan kepemimpinan. Menurutnya manusia pada awal penciptaanya diadaptasikan pada dua keadaan ini, yaitu fisik dan intelektual, sehingga diperlukan para nabi dan filsuf, imam, pembimbing, tutor dan instruktur.


d.      Filsafat Jiwa
Thusi berasumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang bisa terbukti sendiri dank arena itu tidak memerlukan bukti lain. Lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan. Dalam masalah semacam ini, pemikiran yang lepas dari eksistensi orang itu sendiri merupakn suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis sebab suatu argument mensyaratkan adanya seorang ahli argument dan sebuah masalah untuk diargumentasi, sedangkan dalam hal ini keduanya sama yaitu jiwa.[13]
       Jiwa merupan subtansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Ia mengontrol tubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasaan, tapi ia sendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alat tubuh. Setelah menyebutkan argumentasi Ibnu Miskawaih mengenai jasmaniah jiwa dari sifatnya yang tidak dapat dibagi, kemampuanya untuk membuat bentuk-bentuk baru tanpa kehilangan bentuk-bentuknya yang lama, pemahamannya akan bentuk-bentuknya yang bertentangan pada waktu yang sama, dan pembetulannya akan ilusi rasa.
       Thusi menambahkan menambahkan dua argumentasinya sendiri. Penilaian atas logika, fisika, matematika, teologi, dan sebagainya, semuanya ada di dalam satu jiwa tanpa bercampur baur dan dapat diingat dengan kejelasan yang khas, yang mustahil ada di dalam suatu subtansi material. Oleh karena itu, jiwa merupakn suatu subtansi immaterial. Lagi pula, akomodasi fisik itu terbatas, sehingga seratus orang tidak dapat ditempatkan di dalam sebuah tempatyang dibuat untuk lima puluh orang, hal ini tidak berlaku bagi jiwa. Dapat dikatakan bahwa jiwa mempunyai cukup kemampuan untuk menempatkan semua gagasan dan konsep objek yang dikenalnya kedalam banyak ruang agar setiap waktu diperlukan. Ini juga membuktikan bahwa jiwa merupakan suatu subtansi yang sederhana dan immaterial.
       Dalam ungkapan umum “kepalaku, mataku, telingaku,”  kata “ku” menunjukkan induvidualitas  ( huwiyyah ) jiwa, yang memiliki anggota-anggota tubuh ini, dan bukan jasmaniyah. Memang, jiwa memerlukan tubuh sebagai alat penyempurna dirinya, tetapi ia tidak begitu, dikarenakan pemilikannya akan tubuh.
       Ath-Thusi menambahkan jiwa imajinatif  yang menempati posisi tengah diantara jiwa hewan dan manusiawi. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal ( nutq ) yang menerima pengetahuan dari akal pertama. Akal itu ada dua jenis yaitu akal teoritis dan akal praktis, sebagaiman yang dikemukan oleh Aristoteles. Dengan mengikuti pendapat Al-Kindi, Ath-Thusi beranggapan bahawa akal teoritis merupakan suatu potensialita, yang perwujudannya mencangkup empat tingkatan, yaitu akal material ( Aql-I Hayulani ), akal malaikat ( Aql-I malaki ), akal aktif ( ‘Aql-I bi al-Fi’il ), dan akal yang diperoleh (‘Aql-I Mustafad ). Pada tingkatan akal yang diperoleh setiap bentuk konseptual yang terdapat didalam jiawa menjadi nyata terlihat, seperti wajah seseorang yang ada didalam kaca yang dapat dilihat oleh orang tersebut. Di pihak lain, akal praktis berkenaan dengan tindakan-tindakan yang tidak sengaja dan sengaja. Oleh karena itu, potensialitasnya diwujudkan lewat tindakan tindakan moral, kerumah tanggaan dan politis.[14]
       Jiwa imajinatif berkenaan dengan presepsi-presepsi rasa dari satu pihak, dan dengan abstraksi-abstraksi rasional dari pihak lain, sehingga jika ia disatuakan dengan jiwa hewani, ia akan bergantung kepadanya dan hancur bersamanya. Akan tetapi, jika ia dihubungkan dengan jiwa manusia, ia menjadi terlepas dari anggota-anggota tubuh dan ikut bergembira dan bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah keterpisahan jiwa dan tubuh, suatu jejak imajinasi tetap berada dalam bentuknya, dan hokum atau perhargaan jiwa manusiawi menjadi bergantung pada jejak ini ( hai’at ) yang dikenal atau dilakukan oleh jiwa imajinatif di dunia ini.
       Imajinasi  sensitive dan kalkualtif Aristoteles jelas merupakn struktur jiwa imajinasi Thusi, tetapi tindakannya menghubungkan jiwa imajinatif dengan teori hukum dan penghargaan yang berbelit-belit diakhirat, ini merupakan gagasan-gagasannya sendiri. Adapun mengenai tradisi yang diterimannya dari Ibnu Sina dan Al-Ghazali, Ath-Thusi mempercayai lokalisasi fungsi di dalam otak. Dia telah menempatkan akal sehat ( Hiss-I Mushtarak ) dalam ruangan otak yang pertama, persepsi ( Mushawwirah ) di awal bagian pertama ruang otak yang kedua, imajinasi dibagian depan ruang otak yang ketiga, dan ingatan dibagian belakang otak.
e.       Metafisika
       Menurut Thusi, metafisika terdiri atas dua bagian, ilmu ketuhanan ( ‘Ilm-I Ilahi ) dan filsafat pertama ( Falsafah-I Ula ) pengetahuan tentang tuhan, akal dan jiwa merupakan ilmu ketuhan dan pengetahuan mengenai alam semesta dan hal-hal yang berhubunga dengan alam semesta merupakan filsafat pertama. Pengetahuan tentang kelompok-kelompok ketunggalan dan kemejemukan, kepastian dan kemungkinan, esensi, dan eksistensi kekekalan dan ketidak kekalan juga membentuk bagian dari filsafat pertama tersebut.
       Diantara cabang (furu’) metafisika itu termaksuk pengetahuan kenabian ( Nubuwwat ), kepemimpinan spiritual ( Imamat ) dan hari pengedalin (Qiyamat ). Jelajah subjek itu menunjukan bahwa metafisika merupakan esensi filsafat Islam dan lingkup sumbangan utamanya bagi sejarah gagasan-gagasan.[15]
f.       Logika
       Mengenai logika, karya-karyanya meliputi Asas Al-Iqtibas, Syarh-I Mantiq Al-Isyarat, Ta’adil Al-Mi’yar dan Tajrid fi Al-Mantiq. Karya yang disebut pertama memberikan penjelasan yang gambalang mengenai masalah itu dalam bahasa Persia atas dasar logika Ibnu sina dalam Asy-Syifa.
      Ath-Thusi menganggap logika sebagai suatu ilmu dan suatu alat ilmu. Sebagai ilmu, ia bertujuan memahami makna-makna dan sifat dari makna-makna yang dipahami itu. Adapun sebagai alat, aia menjadi kunci unutuk memehami berbagai ilmu. Kalau pengetahuan tentang makan dan sifat dari makna-makna itu menjadi sedemikan berurat akar di dalam pikiran sehingga tidak diperlukan lagi pemikiran refleksi, ilmu logika menjadi suatu seni yang bermanfaat ( san’at ) yang membebaskan pikiran dari kesalahan pengertian di suatu pihak, dan kekacauan di lain pihak.
       Setelah mendefenisikan logika Ath-Thusi, sebagaimana Ibnu Sina memulai dengan pembahasan pendek mengenai teori pengetahuan. Semua pengetahuan adalah konsep ( Tashawwur ) atau penilaian ( Tashdiq ) ; yang pertama bias didapat lewat defenisi dan yang kedua lewat silogisme. Dengan begitu, defenisi dan silogisme merupak dua alat untuk mencapai pengetahuan.
       Tidak seperti Aristoteles, Ibnu Sina membagi semua silogisme menjadi silogisme kopulatif ( Iqtirani ) dan silogisme ekseptif ( Is-Titsna’I ). Tusi mengikuti pembagian ini dan mengabungkannya dengan caranya sendiri. Karya-karyanya dibidang logika secara garis besar bercorak logika Aristoteles, tetapi ia tidak menyebutkan tiga silogisme , melainkan empat sumber dan sumber dari bentuk keempat ini terdapat pada Orgonon-nya Aristoteles ataupun karaya-karya logika Ibnu Sina.[16]
g.      Kenabian
       Setelah menetapkan kebebasan berkehendak dan kebangkitan kembali tubuh. Thusi selalu menetapkan perluya kenabian dan kepemimpinan spiritual. Pertentangan minat serta kebebsan induvidu mengakibatkan tercerai berainya kehidupan sosial, dan ini memerlukan aturan suci dari tuhan untuk mengatur urusan-urusan manusia. Tapi Tuhan sendiri berada diluar jangkauan indra , oleh karena itu, dia mengutus para nabi untuk membantu orang-orang. Pada gilirannya, ini memerlukan pranata kepemimpinan spiritual setelah para nabi untuk menerapkan Aturn suci tersebut.[17]
h.      Tuhan
       Setelah menyangkal kemungkinan logis eteisme dan adanya dualitas pokok, Thusi tidak seperti Farabi, Ibnu Miskawaih, dan Ibnu Sina, mengemukakan bahwa logika dan metafisika sama sekali tidak dapat membuktikan eksistensi Tuhan secara rasional. Sebagai penyebab utama bagi adanya bukti-bukti dan kerenanya merupakan dasar dari semua logika dan metafisika. Dia sendiri tiadak bergantung pada bukti-bukti logis, sebagaiman hokum-hukum dasar logika formal, ia tidak memerlukan dan memberikan kemungkinan untuk pembuktian. Ia adalah prinsip logika kosmik yang bersifat a priori, mendasar, perlu dan membuktikan diri. Eksistensinya harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukannya dibuktikan. Dari studi kehidupan moral pun, Thusi sampai pada kesimpulan yang sama dan seperti Kant pada zaman modern, dia beranggapan bahwa eksistensi Tuhan merupakan suatu postulat pokok etika.
       Selnjudnya Thusi mengemukakan bahwa bukti mengisyaratkan pemahaman sempurna tentang sesuatu yang harus dibuktikan. Dan karena mustahil bagi manusia yang terbatas untuk memahami Tuhan dalam keseluruhan-Nya, dan mustahil pula bagi manusia untuk membuktikan eksistensi-Nya.
       Msalah mengenai apakah dunia ini kekal (qodim) atau diciptakan oleh Tuhan dari ketidakadaan ( hadis ) merupakan salah satu masalah yang sangat membingungkan dalam filsafat muslim. Aristotelis mendukung pendapat bahwa dunia ini kekal, menyifatkan gerakan pada penciptaan Tuhan, sang penggerak utama. Ibnu Miskawaih setuju dengan Aristoteles yang menganggap Tuhan sebagai penyebab adanya gerakan; tetapi tidak seperti filusuf Yunani itu, dia mengemukakan bahwa dunia ini, baik dalam bentik meterinya diciptakan Tuhan dari ketidakadaan. Adapun Thusi dalam karyanya Tashawwurat ( yang ditulis pada masa pemerintahanIslamailiah) melakukan suatu upaya perujukan, secara setengah hati antara Aritoteles dan Ibnu Maiskawaih. Dia mulai dengan mengecam doktrin creatio ex nihilo. Pandangan yang menyatakan adanya waktu ketika didunia ini belummaujud dan kemudian tuhan menciptakannya dari ketiadaan, secara jelas mengisyaratkan bahwa Tuhan bukanlah penciptaan sebelum adanya penciptaan dunia ini atau kekuatan penciptaan-Nya masih bersifat potensial yang kemudia hari batu diwujudkan, dan ini merupakan sangkalan atas daya penciptaan yang kekal. Oleh sebab itu logisnya, Tuhan itu selamanya merupakan pencipta yang mengaitkan eksistensi penciptaan kepada diri-Nya. Dunia ini, dengan kata lain, merupakan sesuatu yang sama kekalnya dengan tuhan. Disini Thusi menutup pembahasan ini dengan mengemukakan bahwa dunia ini kekal karena kekuasaan Tuhan yang menyempurnakannya meskipun dalam hak dan kekuatannya sendiri, ia tercipta ( muhdats ).
       Dalam karyanya Fushul ( risalah yang terkenal dan paling banyak diulas ), Thusi meninggalkan sikap tersebut sekaligus mendukung sepenuhnya doktrin ortodoks mengenai creation ex nihilo. Dengan menggolongkan Dzat menjadi yang pasti dan mungkin, dia mengemukakan bahwa eksistensi yang mungkin itu bergantung pada yang pasti, dan karena ia maujud akibat dari sesuatu yang laindari dirinya, tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan maujud sebab penciptaan yang maujud itu mustahil. Karena sesuatu yang tidak maujud itu tidak ada, begitu juga Kemaujudan yang pasti itu, menciptakan yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan hal-hal yang ada itu di sebut yang tercipta ( muhdats ).
       Dalam kitab Tashawwurat, Thusi setuju dengan Ibnu Sina yang berpendapat bahwa dari suatu ketaiadaan dapat satu, dan dengan mengikuti prinsip ini, dia menerangkan asal ( shudur ) dunia ini dari kemaujudan yang pasti itu dengan gaya Neo-Platonik. Dalam karyanya Risalah-I ‘Aql, Risalah-I ‘Hal wa Ma’lu-lat, dan Syarh-Hsyarat juga dia mendukung baik secara logis maupun matematis, penjamakan dalam proses penciptaan sebagai suatu keseluruhan. Akan tetapi dalam karyanya berikut, Qawa’id al-‘Aqa-id, Tarjid al-‘Aqa-id, dan Fushul, dia secara jelas menyerang dan menumbangkan dasar paling penting dari prinsip ini, yang sebelumnya amat dipercayai,. Refleksi akal pertama dikatakannya sebagai telah menciptakan akal, jiwa dan tubuh lingkungan pertama. Dikemukakannya bahwa sikap ini jelas mengisyaratkan kemejemukan pada yang tercipta oleh akal pertama, yang bertentangan dengan prinsip bahwa dari satu ketakadaan muncul satu. Adapun mengenai sumber kemejemukan, lebih jauh dia mengemukakan bahwa kemajemukan bisa maujud melalui wawenamg Tuhan  dan bisa pula tanpa wawenang Tuhan. Jika ia maujud, karena wewenang Tuhan, tidak ada keraguan lagi bahwa ia dating dari Tuhan. Dipihak lain jika ia maujud tanpa wewenang Tuhan, itu bererti adanya tuhan selain Allah.[18]
       Hal itu diungkapkan kembali dalam Tashawwurat. Thusi berpandangan bahwa refleksi Tuhan sepadan dengan penciptaan dan merupakan hasil dari kesadaran diri-Nya. Di situ dia menganggap Tuhan sebagai pencipta yang bebas dan menumbangkan teori penciptaan karena desakan. Jika tuhan menciptakan karena dia butuh mencipta, Thusi mengemukakan berarti tindakan-tindakanya tentu berasal dari esensi-Nya. Dengan begitu jika suatu bagian dari dunia ini menjadi tak maujud, esensi Tuhan itu tentu juga menjadi Tiada, karena penyebab keberadaan itu ditentukan oleh ketiadaan satu bagian dari penyebabnya. Hal itu selanjudnya ditetapkan oleh ketiadaan bagian lain dari penyebabnya dan seterusnya. Karena semua yang ada itu bergantung perunya Tuhan, ketidakadaan mereka akhirnya menjadi ketidaan Tuhan sendiri.[19]
    


DAFTAR  PUSTAKA

Dedi Suryadi, Pengantar Filsafat Islam, [Bandung, Pustaka Setia],2009

M.M.Syarif, Para Filosof Muslim, [Bandung, Penerbit Mizan], 1993
Abu Ahmadi,dkk, Filsafat Islam,[Semarang, Toha Putra], 1988
http;//demimasa2. Tripod.com/tokoh3, diakses pada tanggal 2 oktober 2011

Black, Antony. Pemikiran Politik Islam. Dari masa nabi Hingga Masa Kini. [Serambi. Jakarta]: 2006


[1] Dedi Suryadi, Pengantar Filsafat Islam, [Bandung, Pustaka Setia,2009],hlm.246
[2] M.M.Syarif, Para Filosof Muslim, [Bandung, Penerbit Mizan, 1993], hlm. 235
[3] Abu Ahmadi,dkk, Filsafat Islam,[Semarang, Toha Putra, 1988] hlm.231
[4] http;//demimasa2. Tripod.com/tokoh3, diakses pada tanggal 2 oktober 2011
[5] Abu Ahmadi,dkk,Ibid,hlm.232
[6] Black, Antony. Pemikiran Politik Islam. Dari masa nabi Hingga Masa Kini. [Serambi. Jakarta: 2006], hlm. 67-70.
[7] Thusi Akhlaqi Nasiri, hlm. 187
[8] Black, Antony.Ibid,hlm.70
[9] Dedi Suryadi, Pengantar Filsafat Islam,Ibid,hlm.249
[10] M.M.Syarif, Para Filosof Muslim, Ibid, hlm.247
[11] Thusi Akhlaqi Nasiri, hlm. 190
[12] Ibid,hlm.191
[13] M.M.Syarif, Para Filosof Muslim,Ibid,hlm.249
[14] Dedi Suryadi, Pengantar Filsafat Islam,Ibid,hlm.255
[15] Ibid,hlm.256
[16] Abu Ahmadi,dkk, Filsafat Islam,Ibid,hlm.233
[17] M.M.Syarif, Para Filosof Muslim,Ibid,hlm.254
[18] M.M.Syarif,Ibid,hlm.254
[19] Dedi Suryadi,Ibid,hlm.260

1 komentar:

  1. | Terimakasih atas artikel nya , :) , tetapi karya nya banyak bgt ya ?

    BalasHapus