BAB I
PENDAHULUAN
George R. Knight (1982:6) mengatakan
bahwa filsafat tradisional mempunyai kesamaan mendasar yaitu mengarahkan
pemikirannya pada metafisika sebagai isu utama. Lain halnya dengan filsafat modern, ada perubahan
yang jelas secara hierarkis mengenai arti penting dari tiga kategori filsafat
yang mendasar . Perubahan ini dipicu oleh adanya penemuan sains modern.
Beberapa abad lamanya perspektif filsafat dan pengetahuan tentang manusia
cenderung stabil. Perubahan dimulai pada abad XVII dan XVIII, dimulai dengan
penemuan ilmiah dan teori-teori ilmiah. Kemudian diikuti dengan teknologi yang
menyebabkan revolusi industri. Dari sinilah terjadi diskontinuitas dengan pola
sosial dan pemikiran filsafat tradisional di dunia Barat.
Pada zaman modern manusia menolak pandangan
tentang kebenaran absolut yang sifatnya statis. Dari sudut pandang manusia,
kebenaran merupakan kebenaran manusia yang relatif dan hal itu berarti tidak ada kepastian
universal. Hal inilah yang menyebabkan filsafat modern menolak masalah
kenyataan terakhir dan fokus pada
pendekatan relatif mengenai kebenaran dan nilai dari perspektif kelompok
(pragmatisme) dan dari sudut pandang individualisme (eksistensialisme). Kalau pragmatisme
lebih memfokuskan pada sisi epistemologi sebagai isu utama filsafatnya, eksistensialisme memfokuskan diri pada aksiologi.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang
bersifat antropologis, karena memusatkan perhatiannya pada otonomi dan
kebebasan manusia. Maka, sementara ahli memandang eksistensialisme sebagai
salah satu bentuk dari humanisme. Hal ini juga diakui oleh Jean-Paul Sartre,
sang filsuf eksistensialis yang sangat terkenal.
Bagaimana eksistensialisme sebagai
filsafat mempengaruhi teori dan praksis pendidikan? Inilah pertanyaan penting
yang akan dibahas dalam makalah ini, dengan memfokuskan terlebih dahulu pada
sifat dasar eksistensialisme, kontribusinya terhadap gerakan humanisme, kemudian dilanjutkan dengan
implikasi eksistensialisme dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Filsafat pendidikan Eksistensilisme
Kata Eksistensi
berasal dari kata Latin yaitu Existere, yang mana Ex artinya keluar sedangkan
Sitere artinya membuat berdiri. Artinya apa yang ada, apa yang memiliki
aktualitas dan apa saja yang dialami. Kata-kata “eksistensialisme”juga dapat
diambil dari kata-kata ”eksistence”
“ada” atau”, wujud”, dan dalam bahasa arab disebut “al-falsafah
al-wujudiyah”. [1]
Eksistensialisme adalah salah satu
pendatang baru dalam dunia filsafat. Eksistensialisme hampir sepenuhnya
merupakan produk abad XX. Dalam banyak hal. eksistensialisme lebih dekat dengan
sastra dan seni daripada filsafat formal. Tidak diragukan lagi bahwa
eksistensialisme memusatkan perhatiannya pada emosi manusia daripada pikiran.
Eksistensialisme tidak harus dipandang
sebagai sebuah aliran filsafat dalam arti yang sama sebagaimana tradisi filsafat sebelumnya. Eksistensialisme
mempunyai ciri:
- penolakan untuk dimasukkan dalam aliran filsafat tertentu;
- tidak mengakui adekuasi sistem filsafat dan ajaran keyakinan (agama)
- sangat tidak puas dengan sistem filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademis dan jauh dari kehidupan.
Individualisme adalah pilar sentral dari
eksistensialisme. Kaum eksistensialis tidak mengakui sesuatu itu sebagai bagian
dari tujuan alam raya ini. Hanya manusia, yang individual yang mempunyai
tujuan.[2]
Eksistensialisme berakar pada karya Soren
Kierkegaard (1813-1855) dan Friedrich Nietzsche (1844-1900). Kedua orang ini
bereaksi terhadap impersonalisme dan formalisme dari ajaran
Kristen dan filsafat spekulatif Hegel. Kierkegaard mencoba merevitalisasi
ajaran Kristen dari dalam dengan memberi
tempat pada individu dan peran pilihan dan komitmen pribadi. Pada sisi lain,
Nietzsche menolak Kekristenan, menyatakan kematian Tuhan dan memperkenalkan
ajarannya tentang superman (manusia
super).
Eksistensialisme telah berpengaruh khususnya sejak perang dunia II. Pencarian kembali akan makna menjadi penting dalam dunia yang telah
menderita depresi berkepanjangan dan diperparah dengan dua perang dunia yang
dampaknya ternyata sangat besar. Hal ini kemudian menjadi pemicu bagi kaum
eksistensialis memperbaharui pencarian akan makna dan signifikansi sebagai
akibat dari adanya dampak sistem industri modern yang mendehumanisasikan
manusia. Eksistensialisme merupakan penolakan yang luas terhadap masyarakat
yang telah merampas individualitas manusia. Juru bicara eksistensialisme yang
berpengaruh pada abad XX termasuk adalah
Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre dan Albert
Camus.
Sebagai pendatang baru dalam dunia
filsafat, eksistensialisme memfokuskan utamanya pada masalah filsafat dan belum begitu eksplisit terhadap
praktik-praktik pendidikan. Beberapa pengecualian ditemukan pada tokoh-tokoh
seperti Martin Buber, Maxine Greene, George Kneller dan Van Cleve Morris.
Eksistensialisme bukanlah filsafat yang sistematis, tetapi memberi semangat dan
sikap yang dapat diterapkan dalam usaha pendidikan.
- Beberapa Pemikiran Filsuf Eksistensialis
a. Gabriel Marcel (1889 – 1978)
Marcel adalah filsuf Perancis yang
bertitik tolak dari eksistensi. Sudah sejak tahun 1925, sebelum Kierkegaard dan
filsuf eksistensialis lain membicarakan eksistensi, Marcel telah menulis
artikel yang berjudul Existence et objectivite (Eksistensi dan Objektivitas). Bagi
Marcel, eksistensi adalah lawan objektivitas dan tidak pernah dapat dijadikan
objektivitas. Eksistensi adalah situasi kongkrit saya sebagai subjek dalam
dunia. Misalnya, saya ini warga negara Indonesia, wanita setengah baya,
mempunyai watak tertentu, berasal dari golongan sosial tertentu, mendapatkan
pendidikan tertentu, dst. Pendeknya, eksistensi adalah seluruh kompleks yang
meliputi semua faktor kongkrit – kebanyakan kebetulan – yang menandai hidup
saya. [3]
Yang khas bagi eksistensi adalah saya (sebagai subjek) tidak menyadari situasi
saya itu. Artinya, saya tidak menginsyafi apa artinya eksistensi saya itu dalam
dunia ini. Baru dalam perjumpaan dan pergaulan dengan orang lain, beberapa
manusia akan berhasil lebih jelas menyadari situasi mereka yang sebenarnya.
Dalam arti inilah eksistensi berarti lapangan pengalaman langsung, wilayah yang
mendahului kesadaran, eksistensi adalah “taraf hidup begitu saja” tanpa
direfleksi. Tetapi, supaya hidup saya dalam dunia mencapai arti yang
sepenuhnya, perlu saya tinggalkan taraf prasadar itu dan menuju ke
kesadaran sungguh-sungguh. Dari relasi-relasi yang semula dianggap
sebagai nasib saya, saya perlu beralih ke suatu kesadaran yang betul-betul saya
terima secara bebas. Dengan kata lain dari eksistensi saya harus menuju ke Ada.[4]
b.
Jean-Paul Sartre (1905-1980)
Titik tolak filsafat tidak bisa lain,
kecuali cogito (kesadaran yang saya
miliki tentang diri saya sendiri). Dalam hal ini ia membenarkan pendapat
Descartes tentang cogito ergo sum.
Tetapi kesadaran itu tidak bersifat tertutup, melainkan intensional (menurut
kodratnya terarah pada dunia). Hal ini dirumuskan oleh Sartre demikian:
Kesadaran adalah kesadaran diri, tetapi kesadaran akan diri ini tidak sama
dengan pengalaman tentang dirinya.
Cogito bukanlah pengenalan dirim melainkan kehadiran kepada dirinya
secara non-tematis. Jadi ada perbedaan
antara kesadaran tematis (kesadaran akan sesuatu) dan kesadaran non-tematis
(kesadaran akan dirinya). Kesadaran akan dirinya membonceng pada kesadaran akan
dunia. Jadi kesadaran atau cogito ini menunjuk pada suatu relasi Ada. Kesadaran
adalah kehadirian (pada) dirinya.
Kehadiran (pada) dirinya ini merupakan syarat yang perlu dan mencukupi
untuk kesadaran. Kita tidak perlu membutuhkan suatu Subyek Transendental atau
Aku Absolut sebagaimana diajarkan idealisme.
Kesadaran tidak dapat disamakan dengan
Ada, karena Sartre berpendapat Ada itu transenden (ada begitu saja). Ada yang
demikian ini disebutnya Etre-en soi
(being in itself), tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak
negatif, tidak mempunyai masa silam, masa depan maupun tujuan, tidak diciptakan
dan tanpa diturunkan dari sesuatu yang lain.
Berbeda halnya dengan etre-pour-soi (being for itself) atau Ada bagi dirinya yang
menunjukkan kesadaran. Kalau saya sadar akan sesuatu berarti saya bukan sesuatu
itu atau saya tidak sama dengan sesuatu itu. Saya melihat lukisan berarti saya
sadar bahwa saya bukan lukisan. Jadi, untuk dapat melihat sesuatu diperlukan
syarat mutlak: adanya jarak. Contoh lain, saya sedang mengetik, berarti saya sadar bahwa saya orang yang sedang
mengetik, tetapi saya juga sadar bahwa saya tidak identik dengan orang yang
mengetik. Artinya, saya bisa berhenti mengetik dan menggantinya dengan
berjalan-jalan atau membaca koran. Jadi, negativitas merupakan ciri khas dari etre-pour soi. Kesadaran berarti distansi dan non-identitas.
Kesadaran berarti sama dengan kebebasan.[5]
Dengan kesadaran manusia sanggup
mengadakan relasi dengan yang tidak ada. Manusia adalah makhluk yang membawa
“ketiadaan”. Aktivitas khusus etre-pour
soi adalah “menidak” Ketiadaan tidak terdapat di luar Ada. Ketiadaan
terus-menerus menghantui Ada. Ada tidak dapat dilepaskan darinya. Dan adanya etre-pour soi adalah “menidak”,
menampilkan ketiadaan itu.[6]
- Pengertian pendidikan, ontologi dan eksistesialisme serta hubungannya.
• Pendidikan yaitu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Dalam GBHN 1973, Pendidikan yaitu suatu unsure yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di dalam maupun diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Menurut Marimba pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju kepribadian yang utama.
• Ontology yaitu pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannya. Ontology ilmu yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu, bersifat universal; menampilkan semesta universal. Ontology berupaya mencari inti yang termuat pada setiap kenyataan, atau dalam rumusan Loren Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas setiap bentuknya.
• Eksistensialisme yaitu suatu usaha untuk menjadikan masalah menjadi konkret karena adanya manusia dan dunia. Menurut Sartre eksistensialisme yaitu filsafat yang memberi penekanan eksistensi yang mendahului esensi. Memandang segala gejala yang ada berpangkal kepada eksistensi. Dengan adanya eksistensi akan penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret dengan metode fenomenologi (cara keberadaan manusia).
Eksistensi sendiri yaitu eks artinya keluar, sintesi artinya berdiri; jadi eksistensi adalah berdiri sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard “Das wesen des daseins liegh in seiner Existenz” , da-sein adalah tersusun dari dad an sein. “da” disana. Sein berarti berada. Jadi artinya manusia sadar dengan tempatnya. Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah “etre” melainkan “ a etre” yang artinya manusia itu tidak hanya ada tetapi dia selamanya harus dibentuk tidak henti-hentinya.[7]
Menurut Parkey (1998) aliran eksistensialisme terbagi menjadi 2, yaitu; bersifat theistic(bertuhan) dan atheistic. Menurut eksistensialisme sendiri ada 3 jenis; tradisional, spekulatif dan skeptif.
Eksistensialisme sangat berhubungan dengan pendidikan karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
- Ontologi filsafat pendidikan eksistensialisme
Pemikiran filsafat ekisistensialisme menyebutkan bahwa manusia memiliki keberadaan yang unik dalam dirinya berbeda antara manusia satu dengan manusia lainnya. Dalam hal ini telaah manusia diarahkan pada individualitas manusia sebagai unit analisisnya. Dan berfokus pada pengalaman-pengalaman individu yang diantaranya:
1. berkaitan dengan hal-hal esensial atau mendasar yang seharusnya manusia tahu dan menyadari sepenuhnya tentang dunia dimana mereka tinggal dan juga bagi kelangsungan hidupnya.
2. menekankan data fakta dengan kurikulum bercorak vokasional.
3. konsentasi studi pada materi-materi dasar tradisional sperti membaca, menulis, sastra, bahasa asing, matematika, sejarah, sains, seni dan musik.
4. pola orientasinya pada skill dasar menuju skill yang bersifat semakin kompleks.
5. perhatian pada pendidikan yang bersifat menarik dan efisien.
6. yakin pada nilaipengetahuan untuk kepentingan pengetahuan itu sendiri.
7. disiplin mental diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar tentang dunia yang dialami.[8]
Secara umum eksistensialisme menekankan pada kreatifitas, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan konkret dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realita. Eksistensialisme lebih memperhatikan pemahaman makna dan tujuan hidup manusia ketimbang melakukan pemahaman terhadap kajian-kajian ilmiah dan metafisika tentang alam semesta. Kebebasan individu sebagai milik manusia adalah sesuatu yang paling utama karena individu memiliki sikap hidup, tujuan hidup dan cara hidup sendiri. Jadi, filsafat pendidikan eksistensialisme yaitu filsafat yang memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk mendapatkan pendidikan secara otentik yang artinya setiap manusia mempunyai tanggungjawab dan kesadaran diri untuk mereka sendiri.
- Posisi Filsafat Pendidikan Eksistensi
- Realitas
Menurut eksistensialisme, ada dua jenis
Filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan skeptis. Filsafat
spekulatif menjelaskan tentang hal-hal yang fundamental tentang pengalaman,
dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara inheren telah ada
dalam diri induvidu. Filsafat skeptik berpandangan bahwa semua pengalaman
manusia adalah palsu, tidak ada sesuatupun yang dapat kita kenal dari realitas.
Mareka menganggap bahwa konsep metafisika adalah sementara.
Eksistensialisme
menolak kedua pandangan diatas ia menolak pandangan spekulatif dengan
mengemukakan pandangannya, bahwa manusia menemukan kebenaran yang
fundamental,beragumentasi, bahwa yang nyata adalah kita alami. Realitas adalah
kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus
menggambarkan apa yang ada pada diri kita, bukan yang ada diluar dirikita atau
kondisi manusia.[9]
Eksistensialisme
merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi.
Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda
dengan cara beradanya benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi
berdasarkan ketidak sadaran akan dirinya sendiri, dan juga tidak terdapat
komunikasi antara satu dengan yang lainya. Tidak demikian halnya dengan manusia
lainnya sama sederajat. Benda-benda materi akan bermakna karena manusia.
Eksistensialisme
berasal dari pemikiran Soren Kierkegaard, inti masalah yang menjadi pemikiran
eksistensialisme adalah sekitar : apa kehidupan manusia ? apa pemecahan yang
konkret terhadap persoalan makna “eksis” (berada) dari manusia.
Bagi
eksistensialisme, benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berada diluar
manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah
dari manusia. Jadi dunia ini bermakna karena manusia tapi sebaliknya dunia ini
tidak akan bermakna kalau tidak ada manusia.
Paham
eksistensialisme bukan hanya satu, melaikan terdiri dari berbagai pandangan
yang berbeda-beda. Namun, pandangan-pandangan tersebut memiliki persamaan,
sehinngga pandagan-pandangan mereka dapat digolongkan Filsafat eksistensialisme.
Persamaan-persamaan tersebut antara lain :
a)
Motif pokok dari filsafat eksistensialisme ialah apa
yang disebut “eksistensi” yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang
bereksistensi. Pusat perhatian ini pada manusia.oleh karena itu, bersifat humanistik.
b)
Bereksistensis harus diartiakan secara dinamis.
Bereksistensi berate menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan
merencanakan.
c)
Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitasyang
belum selesai, yang masih dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia terikat
pada dunia sekitarnya, telebih lagi terhadap sesama manusia.
d)
Eksistensialisme memberikan tekanan pada pangalaman
konkrit, dan pangalaman yang eksistensial.[10]
- Kebenaran sebagai pilihan
Manusia adalah pusat otoritas
epistemologis dalam eksistensialisme – artinya manusia di sini bukan manusia sebagai satu spesies, melainkan
manusia sebagai individu yang kongkrit, meruang dan mewaktu. . Makna dan
kebenaran tidak ditentukan dari dan untuk
alam semesta, justru manusia
itulah yang memberi makna terhadap sesuatu sebagaimana kodratnya. Manusia
mempunyai hasrat untuk percaya kepada makna eksternal dan hasilnya ia
menentukan sendiri untuk percaya kepada apa yang ingin dipercayainya.
Karena eksistensi mendahului esensi, maka
pertama harus ada manusianya dahulu baru kemudian ada ide-ide yang
diciptakannya. Semua tergantung pada manusia individual itu dan ia sendiri yang
membuat putusan terakhir tentang apa itu kebenaran.Oleh karena itu, kebenaran
dapat dilihat sebagai pilihan eksistensial yang tergantung pada otoritas individu.[11]
- Pengetauan
Teori pengetahuan eksistensialisme
banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang
menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana
benda-benda tersebut menempatkan dirinya terhadap kesadaran manusia.
Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya tentang realitas, tergantung
pada interprestasi manusia terhadap realitas. Pengetahuan yang diberikan di
sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh perkerjaan atau karir anak,
melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri.
Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan
merupak suatu disiplin yang kaku, di mana anak harus patuh dan tunduk terhadap
isi pelajaran tersebut. [12]
- Nilai
Pemahaman eksistensialisme terhadap
nilai menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasn bukan tujuan atau suatu
cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu
tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan
pilhan-pilihan diantara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat
akan menghasilkan akibat, dimana sesorang harus menerima akibat-akibat tersebut
sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan
melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Apabila seseorang mengambil
tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan
tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuannya sendiri, yang harus ia capai dalam
setiap situasi. Jadi tujuan diperoleh dalam situasi.
- Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat
sangat menekankan induvidu dan pemenuhan diri sebagai pribadi. Setiap induvidu
dipandang sebagai makhluk yang unik dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap
nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi mengemukakan bahwa
eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan
satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama yaitu, manusia,
kehidupan, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat
pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan “ manusia, sedangkan pendidikan
hanya dilakukan oleh manusia.[13]
- Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembagkan semua
potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap induvidu memiliki kebutuhan dan
perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam
menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan yang berlaku
secara umum.
- Kurikulum
Kaum
eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu
berkontribusi pada pencarian induvidu akan makna dan muncul dalam suatu
tingkatan kepekaan personal yang disebut dengan “kebangkitan yang luas”.
Kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang memberikan para siswa kebebasan
individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan
menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme,
tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting dari pada yang
lainnya. Mata pelajaran merupakan meteri dimana induvidu akan dapat menentukan
dirinya dan kesadaran akan dunianya. Kurikulum eksistensialisme memberikan
perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni.karena kedua tersebut diperlukan agar induvidu dapat
mengadakan intropeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Siswa harus didorong
untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang
dibutuhkan dan serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan.
Siswa secara perorangan harus
mengunakan pengalaman-pengalaman, lapangan mata pelajaran, dan keterampilan
intelektual untuk mencapai pemenuhan diri, dan lebih menekankan pada berfikir
reflektif. Jadi sekolah merupakan tempat untuk hidup dan memilih
pengalaman-pengalaman. Kemudian eksistensialisme menolak apa yang disebut
dengan penonton teori pengatahuan, oleh karena itu, sekolah harus mencawa
siswanya kedalam hidup yang sebenarnya.
- Proses Belajar Mengajar
Menurut Kneller, konsep belajar mengajar
eksistensialisme dapat diaplikasikan dengan cara “Dialog”. Dialog merupakan
percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan
subjek bagi yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan antara “Aku” dan
“Engkau”. Sedangkan lawan dari dialog adalah “paksaan”, dimana seseorang
memaksakan kehendaknya kepada orang lain sebagai objek.
Selanjudnya Buber mengemukakan bahwa,
guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru
disamakan dengan instruktur maka ia akan hanya akan merupakan perantara yang
sederhana antara meteri pelajaran dengan siswa. Seandainya guru dianggap
seorang instruktur, ia akan turun martabatnya, sehingga ia hanya dianggap
sebagai alat mentransfer pengatahuan dan siswa akan menjadi hasil dari transfer
tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi
alat dan produk dari pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar,
pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan. Untuk menjadi hubungan
antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan
diberikan kepada siswa harus menjadi pengalaman pengalaman pribadi guru itu
sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara
pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan
sesuatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan
suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
d.
Peran guru
Menurut pemikiran eksistensialisme,
kehidupan tidak bermakna apa-apa dalam alam semasta berlainan dengan situasi
yang manusia temukan sendiri didalamnya. Kendatipun dengan demikian kebebasan
yang kita miliki, masing-masing dari kita harus Commit sendiri pada penetuan
makna bagi kehidupan kita.
Urusan manusia yang paling berharga yang
mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna,
merupakan poses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kepada
siswa untuk memilih dan memeberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan
membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawana
dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan
apa saja yang mereka sukai. Logika menunjukkan bahwa kebebeasan memiliki
aturan, dan rasa hormat akan kebebasan orang lain itu penting.
Guru hendaknya member semangat kepada
siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menanyakan ide-ide yang
yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa
untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat, bahwa
kebenaran tidak terjadi pada manusia, melainkan dipilih manusia. Lebih dari
itu, siswa harus menjadi faktor dalam suatu drama belajar, bukan sebagai
penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan
mengarahkan siswa dengan saksama sehingga siswa mampu berfikir relative dengan
melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti guru tidak memberi instruksi,
melaikan memberikan pengarahan. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang
sangat luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran.
Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme. Sekolah
merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya
dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
Power mengemukakan beberapa implikasi
filsafat pendidikan eksistensialisme sebagai berikut[14]:
1.
Tujuan Pendidikan
Member bekal pengalaman yang luas dan
konperhensif dalam semua bentuk kehidupan.
2.
Status Siswa
Makhluk rasional dengan pilihan bebasdan tanggung jawab atas
pilihanya. Suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi.
3.
Kurikulum
Yang diutamakan adalah kurikulum
kebebasan yang berlandaskan kepada kebebasan manusia, yakni kebebasan yang
memiliki aturan-aturan. Oleh karena itu, disekolah diajarkan pendidiakan
sosial, untuk mengajar “rasa hormat” ( respek) terhadap kebebasan semua, respek
terhadap kebebasan yang lain adalah esensial.
4.
Peranan guru
Melindungi dan memilihara kebebasan
akedemik, dimana mungkin guru pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.
5.
Metode
Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang
metode, tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada cara untuk
mencapai kebahagiaan dan krakter yang baik.
BAB III
PENUTUP
Secara umum eksistensialisme
menekankan pada kreatifitas, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan
konkret dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat
manusia atau realita.
Eksistensialisme lebih memperhatikan pemahaman makna dan tujuan hidup manusia ketimbang melakukan pemahaman terhadap kajian-kajian ilmiah dan metafisika tentang alam semesta. Kebebasan individu sebagai milik manusia adalah sesuatu yang paling utama karena individu memiliki sikap hidup, tujuan hidup dan cara hidup sendiri.
Jadi, filsafat pendidikan eksistensialisme yaitu filsafat yang memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk mendapatkan pendidikan secara otentik yang artinya setiap manusia mempunyai tanggungjawab dan kesadaran diri untuk mereka sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
A
hanafi . filsafat barat : pustaka alhusna , Jakarta pusat , 19981, hlm .
Rukiyati Pemikiran Pendidikan Menurut Eksistensialisme, Yogyakarta, Fondasia,2003, hlm.
Stephen
Palmquis. Pohon filsafat, (yogyakarta:pustaka pelajar, 2007),
Aliran-aliaran
filsafat pendidikan, Usiono, perdana publishing : Medan, 2011,
Hadiwijono,
Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat II. Yogyakarta: Kanisius
http://monalisaypk.blogspot.com/2007/07/aliran-aliran-pendidikan.html
[1] A hanafi
. filsafat barat : pustaka alhusna , Jakarta pusat , 19981, hlm . 87-88
[5]
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat II. Yogyakarta: Kanisius
[6] Ibid, hlm, 102
[9]
Aliran-aliaran filsafat pendidikan, Usiono, perdana publishing : Medan, 2011,
hlm. 132
[10]
http://monalisaypk.blogspot.com/2007/07/aliran-aliran-pendidikan.html
[11]
http://monalisaypk.blogspot.com/2007/07/aliran-aliran-pendidikan.html
[12] Usiono Op.Cit, Hlm135
[13] Ibid,hlm, 137
[14] Ibid, hlm, 137
Tidak ada komentar:
Posting Komentar